Sabtu, 29 Oktober 2011

Studi Ulumul Qur'an- I'jaz Al-Qur'an

I'JAZ AL-QUR'AN


PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kitab samawi terakhir yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. [1]
Awal revolusi ilmiah di muka bumi yang terus menebarkan mutiara-mutiara ilmu dan pengetahuannya keseluruh dunia adalah Al-Qur’an surat Al-‘Alaq [96] ayat 1-6.[2] Berawal dari itulah Al-Qur’an menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.
Seiring dengan waktu dan kemajuan intelektualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, nilai-nilai Al-Qur’an terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya. Dengan demikian, mengokohkan posisi Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang Qudus, yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Serentetan nilai-nilai Al-Qur’an dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut Mu’jizat. [3]


PEMBAHASAN
Pengertian I’jaz Al-Qur’an
I’jaz ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kekuasaan atau kesanggupan. Makna leksikal kedua ialah membuktikan kelemahan.[4] Yang dikehendaki dengan I’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi yaitu Al-Qur’an. Manna’ Khalil al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “kelemahan” secara umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari Mu’jiz (sesuatu yang melemahkan). [5] Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif). [6]
Mu’jizat menurut Imam As-suyuti ialah sesuatu  yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan tahaddi (menentang) dan tidak ada yang menandingi.[7] Sedangkan Mujizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu.[8]
Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Mu’jizat Al-qur’an” menjelaskan, bahwa kejadian luar biasa yang dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia.[9]


Macam-Macam Mu’jizat
1.      Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mu’jizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang Nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mu’jizat Nabi Musa dapat membelah lautan, mu’jizat Nabi Daud dapat melunakkan besi serta mu’jizat Nabi-Nabi dari bani Israil yang lain. Bahkan secara umum bila melihat komentar Imam Jalaludin as-Suyuthi, dimana beliau berpendapat bahwa kebanyakan mu’jizat yang ditampakkan Allah pada diri para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mu’jizat jenis fisik. Beliau menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat intelegensi bani Israil.
2.      Mu’jizat Rasional (‘aqliyah)
Mu’jizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus Al-Quran sebagai mu’jizat Nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mu’jizat Al-Quran ini abadi sampai hari kiamat. Jalaludin as-Suyuthi kembali menjelaskan, bahwa sebab yang melatarbelakangi diberikannya mu’jizat rasional atas umat Nabi Muhammad adalah keberadaan mereka yang sudah relatif matang dibidang intelektual. Beliau menambahkan, oleh karena itu Al-Quran adalah mu’jizat rasional, maka sisi i’jaznya hanya bisa diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mu’jizat fisik yang bisa diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun Al-Quran diklasifikasikan sebagai mu’jizat rasional ini tidak serta merta menafikan mu’jizat - mu’jizat fisik yang telah dianugrahkan Allah kepadanya untuk memperkuat dakwahnya.
Umat Muhammad diberi keistimewaan dengan mu’jizat aqliyah yang kekal, agar orang-orang yang berakal dapat melihatnya, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Tidak ada seorang Nabi pun dari pada Nabi kecuali diberi apa-apa yang ideal yang manusia itu beriman padanya, dan sesungguhnya aku telah diberi wahyu yang telah diwahyukan oleh Allah kepadaku, maka aku berharap yang paling banyak pengikutnya diantara mereka.” (H.R. Bukhari).[10]
Latar Belakang Kemu’jizatan Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-karim adalah kitab Allah ‘Azza wa Jalla yang diturunkan kepada Nabi terakhir, Muhammad SAW., dengan lafadz dan makna dari Allah. Al-Qur’an ditransformasikan secara mutawatir yang memberikan kepastian dan keyakinan serta tertulis dalam mushaf.
Al-Qur’an merupakan mu’jizat Rasul Muhammad SAW., yang paling agung dan argumentasi yang paling kuat dan kekal sepanjang zaman. Al-Qur’an menjadi tantangan bagi jin dan semua umat manusia. Tantangan Al-Qur’an ini telah terjadi berulang-ulang agar menjadi argumentasi di atas argumentasi bagi mereka dan mematahkan berbagai alasan. [11]
Tantangan Al-Qur’an berbentuk dalam tiga marhalah. Pertama, menantang mereka untuk membuat seperti Al-Qur’an. Kedua, membuat sepuluh surat saja dari Al-Qur’an. Dan yang ketiga, menantang dengan membuat sebuah surat saja dari Al-Qur’an.[12]
1.      Metode Al-Qur’an dalam menantang umat manusia bermula dari tantangannya untuk mendatangkan yang serupa dengannya, tetapi meraka tidak mampu untuk mendatangkannya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra’ [17]:88.


“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain."”[13]
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir, dari Sa’id atau ‘Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas Ra., dikemukakan bahwasannya Salam bin Musykam bersama-sama kawannya, kaum Yahudi, datang menghadap Nabi Muhammad SAW. Salam bin Musykam berkata: “Bagaimana kami bisa mengikuti engkau, sedang engkau sendiri telah meninggalkan kiblat kami, dan yang engkau bawa tidak teratur rapi seperti Taurat. Turunkanlah kepada kami sebuah kitab yang kami kenal. Kalau tidak, kami akan mendatangkan kepadamu seperti yang engkau bawa.” Maka berkenaan dengan peristiwa tersebut, turunlah ayat di atas.[14]
2.      Kemudian Al-Qur’an menantang mereka untuk mendatangkan sepuluh surat saja yang serupa dengannya dan mereka juga tidak mampu mendatangkannya. Q.S. Hud [11]:13. 


“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar."”[15]
Jika orang yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu, katakanlah olehmu, “ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasannya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri kepada Allah? Yakni memeluk agama Islam”. Pernyataan seperti itu merupakan tuntutan secara lembut yang merupakan salah satu tata cara Al-Qur’an dalam menyampaikan khithab.
3.      Berikutnya untuk ketiga kalinya Al-Qur’an menantang mereka untuk mendatangkan satu surat saja dari surat yang mana saja, bahkan surat yang paling pendek sekalipun. Akan tetapi, mereka tetap tidak berani mengangkat kepala sebagai tanda kemampuan untuk mendatangkannya. Allah berfirman Q.S. Yunus [10]:38.



“Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."”[16]

Kemudian, tantangan tersebut datang berulang-ulang dalam surat yang lain. Seperti Q.S. Al-Baqarah[2]:23


“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”[17]
Mereka seolah-seolah dijejali batu-batu sehingga tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Mereka tidak mampu menantangnya, padahal mereka mempunyai kecakapan dalam bidang  falshafah dan balaghah. Dengan demikian terbuktilah kemujizatan Al-Qur’an yang tiada tertandingi itu. Apabila orang Arab saja tidak mampu menandingi kemu’jizatan Al-Qur’an, selain orang Arab tentu lebih tidak mampu lagi.[18]
Aspek-Aspek Kemujizatan Al-Qur'an
Telah terjadi perbedaan pendapat ketika menjelaskan aspek-aspek kemu’jizatan Al-Qur'an. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat pada uraian berikut:
1.      Menurut Golongan Sharfah
Hingga menjelang abad ke-3 H., term I’jaz masih dipahami oleh para ulama sebagai keunikan Al-Qur'an yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Namun berkat pengaruh Al-Jahiz, seorang tokoh Mu’tazilah, term itu lebih dispesifikasikan pada gaya retorika Al-Qur’an.[19] Pada perkembangan selanjutnya, seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, yakni Abu Ishaq An Nazhzham (w. 231 H.), dan tokoh Syi’ah, yakni Al-Murtadha berpendapat bahwa keI’jazan Al-Qur’an adalah dengan jalan shirfah. Shirfah menurut An-Nazhzham ialah Allah memalingkan orang-orang Arab dari menantang Al-Qur’an, padahal mereka sanggup melakukannya. Sedangkan menurut Al-Murtadha, shirfah ialah Allah mencabut ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menantang Al-Qur’an. Maka kelemahan orang-orang Arab bukanlah karena mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk menantang Al-Qur’an, tetapi qadar yang Allah tetapkan. Karena itulah yang melemahkan mereka.[20]
Pandangan seperti ini mendapat dukungan pula dari tokoh Mu’tazilah lainnya, seperti Hisyam Al-Fuwatiti (w. 218 H) Abbad bin Ibn Hazm Al-Andalusi (dari golongan Azh-Zhahiri). Ibnu Hazm lebih jauh berpendapat bahwa ketika Allah berfirman, Allah memberikan daya yang melemahkan manusia untuk menandingi Al-Qur'an. Sementara itu, Ali bin Isa Ar-Rummani melihat lebih jauh lagi, yakni bahwa Allah telah mengalihkan perhatian umat manusia sehingga mereka tidak mempunyai keinginan untuk menyusun suatu karya untuk menandingi Al-Qur'an. Membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap kitab suci ini yang merupakan kitab luar biasa.
Pendapat tokoh-tokoh besar Mu’tazilah itu tidak terlepas dari penghargaan mereka terhadap kemampuan akal manusia. Akan tetapi, pendapat mereka kemudian dikritik oleh para ulama di luar Mu’tazilah, dan juga sebagian ulama Mu’tazilah sendiri yang melihat kemu’jizatan Al-Qur'an dari sudut ajarannya, ilustrasi, dan kebahasaannya.
Para ulama yang membantah paham sharfah tersebut, mereka menjelaskan bahwa paham itu telah menuduh Tuhan menantang seseorang untuk berbicara, tetapi Dia memotong atau melemahkan lidah orang itu terlebih dahulu. Padahal jika dirunut dari latar belakang teks-teks tentang tahaddi (tantangan) Al-Qur'an, jelaslah bahwa kaum kafir Quraisy pada waktu saat itu merasa mampu mendatangkan kitab serupa Al-Qur'an meskipun kenyataannya mereka tidak berdaya atau tidak berhasil. Pandangan sharfah ini, kata mereka, mengimplikasikan pandangan bahwa sebenarnya kemu’jizatan Al-Qur'an bukan karena esensi (dzat)-nya, tetapi karena ada faktor lain, yakni pemalingan potensi manusia oleh Tuhan. Dengan kata lain, paham ini menjelaskan bahwa Al-Qur'an bukan mu’jiz bi dzatihi tetapi mu’jiz bi ghairihi.[21]
2.      Menurut Imam Fakhruddin
Aspek kemu’jizatan Al-Qur'an terletak kepada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala bentuk cacat. Sementara itu, menurut Az-Zamlakani, aspek kemujizatan terletak pada penyusunan yang spesifik.
3.      Menurut ibnu Athiyyah
Aspek kemu’jizatan Al-Qur'an yang benar dan yang dianut oleh mayoritas ulama diantaranya Al-Haddad- terletak pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-katanya yang fasih. Hal tersebut karena Al-Qur'an merupakan firman Allah Dzat Yang Maha Mengetahui. Al-Qur'an sungguh diliputi oleh pengetahuan-Nya. Bila urutan-urutan ayatnya dicermati, tampaklah keserasian antara satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Begitulah yang terdapat pada Al-Qur'an, mulai dari pembuka sampai penutupnya. Manusia diliputi oleh kebodohan dan kealpaan sehingga tidak mungkin dapat melakukan hal yang menyerupai Al-Qur'an.
4.      Menurut Sebagian Ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemu’jizatan Al-Qur'an terkandung dalam Al-Qur'an itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaan, suku kalimatnya maupun dalam pengutuasinya.
5.      Menurut Sebagian Ulama Lagi
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa segi kemu’jizatan itu terkandung dalam kata-katanya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah. Nilai sastra yang terkandung dalam Al-Qur'an itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
6.      Menurut Ash-Sahabuni
Ash-Shabuni mengemukakan segi-segi kemu’jizatan Al-Qur'an seperti sebagai berikut:
a.       Susunannya yang indah dan berbeda dengan karya-karya yang ada dalam bahasa orang-orang Arab.
b.      Adanya uslub (style) yang berbeda dengan uslub-uslub bahasa Arab.
c.       Sifat keagungannya yang tak memungkinkan seseorang untuk mendatangkan yang serupa dengannya.
d.      Bentuk undang-undang di dalamnya sangat rinci dan sempurna melebihi undang-undang buatan manusia.
e.       Mengabarkan hal-hal gaib yang tidak dapat diketahui, kecuali melalui wahyu.
f.       Uraiannya tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya.
g.      Janji dan ancaman yang dikabarkan benar-benar terjadi.
h.      Memenuhi segala kebutuhan manusia.
i.        Berpengaruh bagi hati pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.[22]




KESIMPULAN
Dari makalah ini dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur'an adalah Mu’jizat terbesar yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi yang diutus oleh Allah selalu dibekali mu’jizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi.
Mu’jizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap mu’jizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak, oleh karena itu tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya itulah sebabnya jenis mu’jizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut. Demikianlah dalam hal ini penulis mengakhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak. kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rohim                                                 I’jaz Al-qur’an, anakciremai.blogspot.com.
Departemen Agama RI                               Al-Qurán Al-Karim dan Terjemah Makna ke Dalam Bahasa Indonesia, Mushaf Ayat Sudut, Menara Kudus, Kudus, 2006.
Imam Suyuti                                                Ulumul Qur’an II, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Indiva Pustaka, Cet-I, Surakarta, 2009.
M. Quraish Shihab                                       Mukjizat Al-Qur’an, Mizan,  Cet-V, Bandung, 1999.
Nur Kholis, M.Ag.                                      Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Teras, Cet-I, Yogyakarta, 2008.
Shaleh, H.A.A. K.H.Q., Dahlan, dkk.        Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, CV Penerbit Diponegoro, Cet-II, Bandung, 2001.
Syeikh Muhammad bin
Muhammad Abu Syuhbah, Prof. Dr.          Studi Al-Qur’an Al-Karim, Menelusuri Sejarah Turunnya Al-Qur’an, CV Pustaka Setia, Cet-I, Bandung, 2002.
Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddiedy, Prof. Dr.                            Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), Pustaka Rizki Putra, Cet-I , Semarang,  2009.
Yusuf al-Hajj Ahmad, Prof. Dr.                  Seri Kemukjizatan Al-qur’an dan Sunnah, Sajadah Press, Cet-I, Yogyakarta, 2008.


[1] Nur Kholis, M.Ag., Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Teras, Cet-I, Yogyakarta, 2008, Hal.107.
[2] Prof. Dr. Yusuf al-Hajj Ahmad, Seri Kemukjizatan Al-qur’an dan Sunnah, Sajadah Press, Cet-I, Yogyakarta, 2008, Hal.v.
[3] Nur Kholis, M.Ag., Op.Cit, Hal.107-108.
[4] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiedy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), Pustaka Rizki Putra, Cet-I , Semarang,  2009, Hal.293.
[5] Nur Kholis, M.Ag. Op. Cit, Hal.108-109.
[6] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan,  Cet-V, Bandung, 1999, Hal.23.
[7] Imam Suyuti, Ulumul Qur’an II, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Indiva Pustaka, Cet-I, Surakarta, 2009, Hal.661.
[8] Abd. Rohim, I’jaz Al-qur’an, anakciremai.blogspot.com.
[9] M. Quraish Shihab, Op. Cit, Hal. 24.
[10] Imam Suyuti, Op. Cit, Hal.661-662.
[11] Prof. Dr. Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Al-Qur’an Al-Karim, Menelusuri Sejarah Turunnya Al-Qur’an, CV Pustaka Setia, Cet-I, Bandung, 2002, Hal.13-14.
[12] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiedy, Op. Cit, Hal. 294
[13] Departemen Agama RI, Al-Qurán Al-Karim dan Terjemah Makna ke Dalam Bahasa Indonesia, Mushaf Ayat Sudut, Menara Kudus, Kudus, 2006. Hal. 291.
[14] K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, CV Penerbit Diponegoro, Cet-II, Bandung, 2001, Hal.329-330.
[15] Departemen Agama RI, Op. Cit, Hal. 223.
[16] Ibid, Hal. 213.
[17] Ibid, Hal. 4.
[18] Prof. Dr. Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Op. Cit, Hal. 14-18.
[19] Abd. Rohim, Op. Cit.
[20] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiedy, Op. Cit, Hal.295.
[21] Abd. Rohim, Op. Cit.
[22] Ibid