Sabtu, 26 November 2011

Pendidikan Pesantren Dalam Menghadapi Era Globalisasi


LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS
(Pendidikan Pesantren Dalam Menghadapi Era Globalisasi)

UNSIQ











Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikam Islam
yang di ampu oleh Dr. Moh. Sakir, M.Ag.


Disusun Oleh:
AHMAD ROBIHAN, S.Pd.I
DKK


pasca sarjana
Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ)
Jawa Tengah di Wonosobo
2011
PENDIDIKAN PESANTREN DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
A.      PENDAHULUAN
Istilah globalisasi diambil dari kata “global”. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Marshall McLuhan menyebut dunia yang diliputi kesadaran globalisasi ini global village (desa buana). Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu negara. Batas-batas geografis suatu negara menjadi kabur. Globalisasi membuat dunia menjadi transparan akibat perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit.
Arus globalisasi lambat laun semakin meningkat dan menyentuh hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari. Globalisasi memunculkan gaya hidup kosmopolitan yang ditandai oleh berbagai kemudahan hubungan dan terbukanya aneka ragam informasi yang memungkinkan individu dalam masyarakat mengikuti gaya-gaya hidup baru yang disenangi.
Globalisasi menjadi kekuatan yang terus meningkat, dan dapat menimbulkan aksi dan reaksi dalam kehidupan. Globalisasi melahirkan dunia yang terbuka untuk saling berhubungan, terutama dengan ditopang teknologi informasi yang sedemikian canggih. Topangan teknologi ini pada gilirannya dapat mengubah segi-segi kehidupan, baik kehidupan material maupun kehidupan spiritual.[1]
Pada era globalisasi saat ini, kesadaran global tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan tampak semakin jelas. Maklum, globalisasi telah menampilkan  perkembangan ilmu pengetahuan secara pesat, teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, serta pengaruh budaya global dalam kehidupan yang sangat dominan. Kondisi demikian ini meniscayakan adanya kualitas SDM yang memadai bagi siapapun supaya ia mampu bekerjasama dan mampu berkompetisi dengan bangsa lain yang pada akhirnya setiap individu atau suatu bangsa dapat eksis dalam percaturan global ini.[2]
Dalam konteks ini, bidang-bidang kehidupan umat manusia yang khususnya ada dalam ruanglingkup pesatren yang kurang siap dalam menghadapi era globalisasi perlu berbenah diri. Ditilik dari sejarah pendidikan Islam Indonesia, pesantren sebagai sistem pendidikan Islam tradisional memainkan peranan penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.[3] Jika globalisasi adalah suatu keniscayaan maka mau tidak mau harus dikontekskan dengan piranti-piranti globalisasi tersebut. Artinya, pendidikan pesantren sudah semestinya memiliki kepentingan untuk membentuk SDM yang siap bergulat dan bertarung untuk menghadapi arus deras globalisasi.
Apabila kita menilik pendidikan pesantren yang telah berjalan di Indonesia, sungguh banyak sekali sistemnya yang harus di rombak, mulai dari cara pandang yang dipakai (paradigma), model pembelajaran, penekanan tujuan pendidikan pesantren, dan masih banyak yang lain. Dalam pusaran arus globalisasi, pada kenyataannya pendidikan pesantren belum mampu menciptakan anak didik (santri) yang kritis dan memiliki kemampuan dalam menghadapi arus globalisasi yang menindas dan mencengkram. Dalam keadaan inilah pendidikan pesantren semestinya tidak bebas nilai(value free), sebaliknya pendidikan pesantren harus berkepentingan untuk menciptakan santri yang kritis dan memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan yang dihadapinya.



B.       PEMBAHASAN
1.         Era Globalisasi
Istilah globalisasi dipopulerkan oleh Theodore Lavitte pada tahun 1985 dan kini telah menjadi slogan magis di dalam setiap topik pembahasan. Substansi globalisasi adalah ideoligi yang menggambarkan proses interaksi yang sangat luas dalam berbagai bidang. Globalisasi juga merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses multilapis dan multidimensi dalam realitas kehidupan yang sebagian besar dikonstruksi oleh barat, khususnya oleh kapitalisme dengan nilai-nilai dan pelaksanaannya. Di dalam dunia global, bidang-bidang di atas terjalin secara luas, erat dan dengan proses yang cepat. Hubungan ini ditandai dengan karakteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara. Keadaan demikian ini menunjukkan bahwa relasi antara kekuatan bangsa-bangsa di dunia akan mewarnai barbagai hal, yaitu sosial, hukum, ekonomi, dan agama.
Globalisasi berasal dari kata “the globe” (Inggris) atau “la monde” (Prancis) yang berarti bumi, dunia ini. Maka globalisasi atau mondialisation secara sederhana dapat diartikan sebagai proses menjadikan semuanya satu bumi atau satu dunia. Secara lebih lengkap globalisasi banyak didefinisikan oleh para ilmuwan dunia. Baylis dan Smith misalnya, mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses meningkatnya keterkaitan antara masyarakat sehingga satu peristiwa yang terjadi diantara wilayah tertentu semakin lama akan kian berpengaruh terhadap manusia dan masyarakat yang hidup di bagian lain di muka bumi ini. Anthony Giddens memandang globalisasi sebagai sebuah proses yang ditandai dengan semakin intensifnya hubungan sosial yang menggelobal. Artinya kehidupan manusia disuatu wilayah akan berpengaruh kepada kehidupan manusia di wiliyah lain dan begitupun sebaliknya.[4]
Dalam dimensi lain Wallerstain seorang pelopor teori sistem dunia memandang tidak sebatas hubungan lintas batas negara, namun globalisasi merupakan wujud ekonomi kapitalis dunia yang digerakkan oleh logika akumulasi kapital. Senada dengan Wallerstain, Jin Young Chun ilmuwan politik asal Korea mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses integrasinya dunia melalui peningkatan arus kapital, hasil-hasil produksi, jasa, ide dan manusia yang lintas batas negara. Proses ini merupakan hasil dari perkembangan-perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang revolusioner, serta liberalisasi perdagangan dan keuangan di negara-negara besar.
Dari definisi-definisi tersebut persoalannya akan menjadi lain ketika globalisasi dikaitkan dengan masalah ekonomi, politik-ideologi, ilmi pengetahuan, teknologi dan budaya. Mengaitkan globalisasi dengan presoalan tersebut akan menjadi rumit dan semakin spesifik meskipun terdapat keterkaitan yang erat. Hal ini juga yang akan memengaruhi sikap seseorang dalam merespon globalisasi. Globalisasi dalam pengetian ekonomi misalnya, ia berarti proses internasionalisasi produk, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internasional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi. Secara lebih kongkrit hal ini berarti reorganisasi sarana-sarana produksi, penetrasi lintas negara dari industri, perluasan pasar uang, penjajahan bahan-bahan konsumsi, sampai ke negara-negara dunia ke tiga dari dunia pertama, dan penggusuran penduduk lintas negara secara besar-besaran. Sedangkan sebagai pengertian politik-ideologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberasi perdagangan dan investasi, deregulasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Sebagai pengetian ilmu pengetahuan, globalisasi tidak hanya berarti dipakainya kaidah kebenaran ilmu yang bersumber kepada empirisme dan cara penalaran konteks masyarakat dan alam negara-negara maju bagi negara-negara tertinggal tanpa memperhatikan ke-khasan masyarakat dan alamnya, tetapi juga termasuk juga usaha-usaha untuk membangun kebenaran ilmu untuk tujuan pemanusiaan manusia termasuk mencari keterangan ilmiah, pengetahuan lokal dan tradisional.
Sebagai pengertian teknologi, globalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi, tidak hanya teknologi komunikasi dan informasi, namun juga teknologi penghancur lingkungan serta bioteknologi pengancam manusia tanpa kendali. Dan sebagai pengertian budaya, globalisasi tidak hanya proses harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas keberagaman, HAM, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi. Proses seperti ini merupakan gerakan menuju kewarganegaraan dunia universal yang melampui batasan negara-kebangsaan.
Globalisasi, dengan demikian ditandai dengan berbagai hal, yaitu : pertama, globalisasi terkait erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi, arus informasi atas komunikasi yang lintas batas negara. Kedua, globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi kapital, semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan, dan perdagangan global. Ketiga, globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan manusia, pertukaran budaya, nilai dan ide yang lintas batas negara. Keempat, globalisasi ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya antar bangsa namun juga antar masyarakat.[5]
2.         Pendidikan Pesantren Dalam Menghadapi Era Globalisasi
Dari definisi-definisi yang penulis jelaskan, jelaslah bahwa globalisasi membawa akibat dan manfaat bagi kehidupan manusia. Dua hal yang paradok ini memaksa seseorang untuk besikap dan menentukan terhadap globalisasi.[6] Idealnya, kita tidak mengambil posisi sebagai pendukung atau penentang globalisasi, tetapi kita harus menyikapi globalisasi (juga pemikiran luar lainnya) secara kritis.[7] Inilah realitas globalisasi yang ada di hadapan kita. Maka, kewajiban kita adalah bagaimana berinteraksi dengannya secara positif. Toh, realitas globalisasi ini tidak semuanya buruk, dan tidak pula semuanya baik. Karena itu, kita harus menyikapinya lewat berbagai bentuk artikulasi yang kritis namun proporsional.[8]
Banyak kalangan, terutama kaum cendikiawan, sudah menyadari akan fenomena di atas dan kebutuhan bangsa atasnya. Kesadaran ini diwujudkan dalam bentuk pembentukan lembaga pendidikan, sebagai salah satu alternatif menghadapi era globalisasi. Mereka berkompetisi satu sama lain dengan menawarkan penciptaan SDM yang berkualitas untuk menghadapi era globalisasi.[9]
Dalam hal ini, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam kiranya perlu meningkatkan peranannya karena Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai agama yang berlaku seantero dunia sepanjang masa. Ini berarti ajaran Islam adalah global dan melakukan globalisasi untuk semua (lihat Q.S. Al-Hujurat:13).[10]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

 “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal….” ( QS. Al-Hujurat:13).[11]

Globalisasi dalam perspektif Islam adalah sunatullah Karena Islam adalah agama yang bersifat universal, yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW. Sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmah li al-álamin). (lihat Q.S. Al-Anbiya’ : 107).[12] 
 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
  
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya’ : 107)[13]

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan mau tak mau harus turut pula ambil bagian, memposisikan diri dan membuktikan sebagai lembaga yang juga mampu mengakomodasi tuntutan di era globalisasi, yaitu menciptakan manusia yang tidak hanya bertakwa tetapi juga berilmu, memiliki SDM tinggi plus berakhlakul karimah.[14]
Hal tersebut sesuai dengan dua potensi yang ada pada pesantren itu sendiri, yaitu: pertama, potensi pengembangan masyarakat. Pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkannya (amar ma’ruf nahi munkar). Kehadirannya dengan demikian bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) yang selalu melakukan kerja-kerja pembebasan pada masyarakatnya dari segala keburukan moral, penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi.
Kedua, potensi pendidikan. Salah satu misi awal didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh plosok Nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.[15]
Penciptaan out put seperti itulah membuat pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dalam mengawal bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi.
Minimal ada tiga alasan mengapa pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga yang lain. Pertama, pesantren yang ditempati  para generasi penerus bangsa, dengan pendidikannya yang tidak terbatas oleh waktu sebagai mana di lembaga pendidikan umum, akan semakin menyemaikan ajaran-ajaran Islam, yang itu dapat dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi globalisasi.[16]
Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, pendidikan agama dan umum, merupakan usaha yang sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan di era globalisasi yang membutuhkan keseimbangan antara kualitas SDM dan keluhuran moral. Pendidikan pesantren yang berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam, menjadikan keluhuran moral dan akhlakul karimah sebagai salah satu fokus bidang garapan pendidikannya. Hal ini tetap menjadi nilai lebih pendidikan pesantren yang tidak atau sulit didapatkan dalam pendidikan luar pesantren dan akan menjadi pelarian masyarakat yang mulai resah dengan dekadensi moral yang telah mewabah. Pesantren akan menjadi tujuan masyarakat disaat orang-orang telah kehilangan kepercayaan dan mulai hampa akan norma-norma. Sebagaimana dikatakan oleh Durkheim, hanya agamalah yang mempu mengatasi di saat seperti itu.
Ketiga, paparan Nur Cholis Madjid yang memberikan contoh masyarakat yang terkena “diskolasi”, yaitu kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren. Mengingat pesantren adalah kaum pinggiran atau pedesaan yang ekonominya berada pada posisi menengah ke bawah yang juga rentan akan dihinggapi “diskolasi”, sehingga dalam hal ini pesantren tentu lebih mempunyai kesempatan untuk memberdayakan dan mengangkat kaum tersebut.[17]
Perlunya suatu keseimbangan dan perpaduan yang sepadan antara penciptaan manusia yang bertakwa dan berilmu adalah dalam rangka merombak anggapan masyarakat terhadap pendidikan pesantren, yang hanya dikenal sebagai lembaga yang lebih berorientasikan pada pembentukan manusia yang bermoral atau bertakwa saja, tetapi tidak mempunyai SDM tinggi. Selain itu juga untuk meminimalisir beberapa permasalahan yang akan timbul dalam transformasi masyarakat agraris menuju masyarakat industrialis sebagaimana diprediksikan oleh Nur Cholis Madjid dan Durkheim.
Pesantren sudah saatnya untuk tidak menutup diri terhadap perubahan, karena keengganan pesantren untuk menyesuaikan dengan perubahan sebenarnya dengan sendirinya telah memposisikan pesantren sebagai lingkungan yang terisolir dari pergaulan dan pada akhirnya akan ditinggalkan kebanyakan orang, karena sudah tidak lagi sesuai atau tidak dapat mengakomodasi keadaan zaman. Dengan demikian secara tak langsung pesantren telah ikut juga menciptakan permasalahan dalam era globalisasi, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal dari orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat, akibat tidak dapat mengikuti dan tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan.
Perubahan yang dimaksud disini bukan berarti pesantren merombak total ataupun membuang jauh-jauh sistem yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. Penerimaan pesantren terhadap berbagai perubahan juga disertai dengan mempertahankan dan tetap memberikan tempat terhadap nilai-nilai lama, karena perubahan bukan berarti harus menghilangkan atau menggusur nilai-nilai lama. Perubahan justru akan semakin memperkaya sekaligus mendukung upaya transmisi khazanah pengetahuan Islam tradisional dan melebarkan jangkauan pelayanan pesantren terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Apa yang dilakukan pesantren dalam perubahan dirinya merupakan salah satu bentuk modernisasi pesantren, baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai lembaga sosial.[18]
Kemungkinan-kemungkinan pesantren untuk dapat berkembang dan menjadi alternatif  bagi pendidikan Islam masa depan, sangat tergantung pada dunia pesantren itu sendiri, faktor-faktor (dukungan) dari luar. Faktor dari dalam tersebut antara lain adalah; kepemimpinan pesantren, sikap keluarga pemilik pesantren, sikap dan pandangan para kiai, ustadz dan santri, serta ada tidaknya kemampuan santri untuk berorganisasi secara maju. Sedangkan faktor luar yang turut mempengaruhi dapat disebutkan misalnya; respon masyarakat terhadap pesantren, bantuan pemerintah atau lembaga-lembaga modern lainnya, partisipasi masyarakat serta penelitian dan kajian agama yang datangnya dari luar untuk meningkatkan kualitas dan mempromosikan keberadaan suatu pesantren.
Pesantren sebagai perintis pendidikan Islam di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi panutan bagi pendidikan Islam secara makro. Pesantren sudah seharusnya melakukan rekonstruksi potensi strategisnya yang diperlukan bagi transformasi sosio-budaya bangsa.[19] Menurut K.H. Said Aqil Siradj, ada tiga kekurangan pesantren yang harus dibenahi, bila pesantren ingin menjadi lembaga pendidikan alternatif. Pertama, pesantren harus melepaskan diri dari kesan dan citra kerajaan kecil. Artinya, dalam pesantren harus ditumbuhkan keterbukaan, kebebasan berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektifitas, dan menerima secara ofensif berbagai gagasan pembaharuan dari luar. Kedua, indenpendensi dan otonomi pesantren yang selama ini ada perlu diperkuat dan diarahkan sebagai basis dan pemberdayaan serta penguatan masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara. Ketiga, kurikulum pesantren harus di rombak. Metodologi pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan kepada literatur. Personifikasi ilmu kepada kiai atau guru harus dikurangi melalui metode dialogis, kritis untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Karena itu perpustakaan yang memadai menjadi keniscayaan dalam pembaharuan. Pelajaran-pelajaran filsafat, logika, estetika, sejarah sosiologi, antropologi dan sebagainya, sudah harus dipertimbangkan menjadi kurikulum pesantren.[20]
Melalui tiga tawaran tersebut, minimal dapat dilakukan apresiasi ulang terhadap landasan pendidikan pesantren, visi kemanusiaan yang ingin dicapai, maupun pola pendidikan yang dipakai untuk merealisasikan visi tersebut. Tentunya semua berpulang kepada pengelola atau pengasuh pondok pesantren, serta kreativitas, rasa percaya diri dan tanggung jawab masyarakat pendukung pesantren secara menyeluruh.
C.      Kesimpulan
Pesantren didirikan lantaran tuntutan kebutuhan zaman dan oleh karenanya, pesantren senantiasa dituntut mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, tanpa tercabut dari akar tradisi serta khasanah keagamaannya. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan, pesantren diharapkan mampu berfungsi sebagai pelopor pembaharuan (agent of change).
Dalam arti, keberadaannya diharapkan mampu memberikan altearnatif pemikiran dan tindakan. Apa yang dibutuhkan dalam hal ini, adalah suatu komitmen pencarian jalan tengah, tradisi keagamaan yang seimbang dengan tuntutan-tuntutan praktis yang dalam merespon modernitas dan kebutuhan akan  kemajuan. Salah satu kunci untuk berhasil dalam hal ini, adalah menempatkan kalangan muda dalam kepemimpinan pesantren dan rekonstruksi total terhadap kurikulum dan materi-materi pengajaran. Pengembangan pendidikan pesantren diantaranya: kelompok pembinaan pimpinan pesantren, kelompok pembinaan mutu pengajaran di pesantren, kelompok pembinaan pola-pola hubungan pesantren dengan lembaga kemasyarakatan yang lainnya, dan kelompok pembinaan ketrampilan bagi para santri. Selain itu, juga megembangkan kurikulum pesantren secara lebih dinamis.
Secara individual, setiap pesantren memerkirakan kesulitan yang dihadapinya, dan kemudian memilih salah satu di antara tawaran yang telah digolongkan di atas. Pesantren itu di ajak berlatih untuk mengadakan penilaian sendiri atas kemampuan sendiri, melalui pilihan yang akan digarap. Hanya dengan sistem bertahap pesantren dapat digugah perhatiannya secara kongkret terhadap kebutuhan akan perbaikan yang bersifat menyeluruh.



Daftar Pustaka
Aqiel Siradj, Sa’id, et. al.                                Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet. I, 1999.
Depag. RI                                                       Al-Qurán Al-Karim dan Terjemah Makna ke Dalam Bahasa Indonesia, Mushaf Ayat Sudut, Menara Kudus, Kudus, 2006.
Djohar, Prof. Dr.                                             Pengantar  Pendidikan Transformatif. Teras, Yogyakarta, 2008.
Hamdi Zaqzuq, Mahmud                                Reposisi Islam Di Era Globalisasi, LKiS, Yogyakarta, Cet. I, 2004.
Imam Machali dan Musthofa                          Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, Cet. I, 2004.
M. Affan Hasyim, et. al.                                 Menggagas Pesantren Masa Depan, Qirtas, Yogyakarta, Cet. I, 2003.
Muhtarom, Dr. H.M., H.                                 Reproduksi Ulama di Era globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Nurcholis Madjid                                            Islam Kerakyatan Dan KeIndonesiaan,  cet. Ke-3, Mizan, Bandung, 1996.
Zainal Arifin Thoha                                        Runtuhnya Singgasana Kiai, Kutub, Yogyakarta, Cet. II, 2003.



[1] Dr. H. Muhtarom, H.M, Reproduksi Ulama di Era globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal.44
[2] Prof. Dr. Djohar, Pengantar  Pendidikan Transformatif. Teras, Yogyakarta, 2008, hal.xv.
[3] Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan Dan KeIndonesiaan,  cet. Ke-3, Mizan, Bandung, 1996, hal.222.
[4] Imam Machali & Musthofa, Op. Cit., hal. 109.
[5] Ibid, hal. 109-111
[6] Ibid, hal. 112.
[7] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam Di Era Globalisasi, LKiS, Yogyakarta, Cet. I, 2004, hal. 4.
[8] Ibid, hal. 5.
[9] M. Affan Hasyim, et. al, Menggagas Pesantren Masa Depan, Qirtas, Yogyakarta, Cet. I, 2003, hal. 60.
                [10] Dr. H. Muhtarom, H.M, Op. Cit., hal. 48.
                [11] Dep. Ag. RI, Al-Qurán Al-Karim dan Terjemah Makna ke Dalam Bahasa Indonesia, Mushaf Ayat Sudut, Menara Kudus, Kudus, 2006. hal. 517.
                [12] Dr. H. Muhtarom, H.M, Op. Cit., hal. 48.
                [13] Dep. Ag. RI, Op. Cit., hal. 331.
[14] Ibid, hal. 61.
[15] Sa’id Aqiel Siradj, et. al, Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet. I, 1999, hal. 201-202.
[16] M. Affan Hasyim, et. al, Op. Cit., hal. 61-62.
[17] Ibid, hal. 62-63.
[18] Ibid, hal. 63-66.
[19] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, Kutub, Yogyakarta, Cet. II, 2003, hal. 38.
[20] M. Affan Hasyim, et. al, Op. Cit., hal. 67.

Sabtu, 19 November 2011

Lagu Ciptaan Ku_ 1st


Gadis Italia
Ku lantunkan nada cinta
Untukmu gadis cantik Italia
Ku ungkapkan apa yang ku rasa
Untukmu bintang hati yang menggoda
Kau sungguh cantik menebar pesona
Gaya bicaramu menggugah jiwa
Tatap matamu tajam seperti singa
Getarkan dada..
Reff
Kau mengisi hariku
Dan engkau yang mengisi jiwaku
Tak terbayangkan bila tak ada kamu
Hidupku pasti habis termakan waktu
Dan ku persembahkan untukmu
Sebuah lagu cinta hasil karyaku
Hanya untukmu, special... Gadis...Gadis Italia
Gadis Italia..Gadis Italia..Gadis Italia.

Bersegeralah Kepada Ampunan Tuhan


Wasari’u Ila Maghfiroh
Wahai umat manusia
Yang beriman dan bertaqwa
Taatlah kau pada Allah
Dan Muhammad utusan-Nya
Segeralah kau mencari
Ampunan dari Tuhanmu
Dan dapatkan surga
Yang seluas langit dan bumi
Reff
Infak kan hartamu
Tahan amarahmu
Berbuatlah kebaikan
Agar Allah mencintamu
Saat kau berbuat keji
Menzalimi diri
Segeralah ingat Allah
Mohon ampun kepada-Nya
*Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir dibawahnya sungi-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala bagi orang yang beramal.
By: Menco
Terinspirasi dari Q.S. Ali Imran ayat 129-136