Sabtu, 10 Desember 2011

Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Pesantren


Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Pesantren
Pada awal dawarsa 1970-an, Mukti Ali, Mentri Agama yang baru, menyerukan adanya peremajaan sistem nilai pesantren dan berkeinginan agar pesantren bisa bertindak sebagai agen perubahan dalam masyarakat Indonesia supaya memfasilitasi pengembangan masyarakat. Dalam menjelaskan visinya ini, Mukti Ali, yang dikenal sebagai seorang pemikir yang cukup progresif dan seorang pembimbing yang baik bagi kaum intelektual muda, suka sekali mengutip ayat Al-Qurán: “Jadilah diantara kamu sekelompok orang yang akan melakukan pekerjaan baik dan melaksanakan kewajiban agama dan mematuhi apa yang dilarang dalam agama.” Mukti Ali memilih teks ini untuk menunjukkan bahwa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari pemuka-pemuka agama yang berpandangan jauh ke depan dan berkomitmen dapat memainkan peran sebagai katalisator dalam masyarakat dan hal ini merupakan bagian dari tugas Islam. Tergolong oleh adanya kesempatan yang terbuka di Indonesia, demikian ungkap Gus Dur, ia memutuskan untuk menunda studinya dan untuk tahun ke depan ia akan berkonsentrasi pada upaya bagaimana membina pesantren.[1]
Kebanyakan khalayak sudah mafhum kalau Gus Dur berasal dari keluarga pesantren. Ia lahir, besar, dan berkembang di lingkungan pesantren. Gus Dur adalah orang yang “berangkat dari pesantren” dan semestinya kelak juga akan “kembali ke pesantren”. Kendati demikian, barangkali akan sedikit sekali orang yang mengetahui bagaimana pemikiran Gus Dur tentang pesantren.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur dimulai sejak tahun 1970-an hingga setidaknya akhir tahun 1980-an, tahun-tahun dimana dilancarkannya program pembangunan (modernisasi) oleh rezim orde baru. Pemikiran Gus Dur pada saat itu berseberangan dengan para pengamat dan pemegang kebijakan. Pesantren, sebagai pranata tradisional, pada saat itu dicurigai sebagai sarang kejumudan, stagnansi dan konservatisme.  Pesantren sering dianggap sebagai lembaga yang menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan. Gus Dur melalui esai-esai dan prasaran-prasarannya, seperti yang termuat dalam buku “Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren”, menolak keras pandangan itu.  Menurut Gus Dur, pesantren sangat dinamis, bisa berubah, dan mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan.
Gus Dur gencar menulis dan memberikan prasaran berbagai masalah yang berkaitan dengan agama, kebudayaan, ideologi, dan modernisasi. Topik yang menarik perhatiannya, di antaranya adalah mengenai peran dan kedudukan institusi pesantren dalam modernisasi. Tulisan pertamanya yang muncul di media umum, yang dikirimkannya dari Jombang adalah mengenai pesantren. Sepanjang dua dekade itu, tulisan dan prasaran Gus Dur tentang pesantren dan berbagai tema yang terkait dengannya tampil gencar di tengah masyarakat, tak salah jika ada yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah “jendela pemikiran kaum santri”.[2]
Lebih dari itu, Gus Dur adalah pemimpin besar yang sangat disegani karena kedalaman pemikiran sosialnya, keluasan wawasan politiknya, keawasan naluri politiknya dan besar pengaruhnya sepanjang sejarah Indonesia sejak lebih dari tiga dawarsa yang lalu. Kemampuan Gus Dur meramu tradisi pesantren dengan pemikiran-pemikiran modern menjadikannya sebagai juru bicara utama para kiai-kiai dan masyarakat NU.[3]
Menurut Gus Dur, pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan : rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda ajengan, dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara, di singkat ra); sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga lebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, pengambilalihan dari bahasa Sanskerta dengan perubahan pengertian).[4]
Gus Dur memberikan gambaran keunikan pesantren sebagai sebuah sub-kultur itu meliputi pertama, pola kepemimpinannya yang berdiri sendiri dan berada di luar kepemimpinan pemerintah desa. Padahal keberadaan pesantren itu sendiri tersebar di 5000 lebih desa dari 68.000 desa-desa di Indonesia. Apa yang dikemukakan Gus Dur ini dapat kita lihat, misalnya, dari keberadaan Pesantren Mlangi, Krapyak, Sunan Pandanaran, Nurul Ummah, di daerah Istimewa Yogyakarta, maupun pesantren-pesantren lain yang berada di desa-desa daerah lain, yang umumnya berdiri sendiri terlepas dari pemerintah desa tempat keberadaannya. Peneliti Amerika Sidney Jones, yang pernah melakukan riset di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menunjukkan bahwa di luar pesantren, kepemimpinan kiai berkembang menjadi sebuah hubungan patron client yang sangat erat, di mana otoritas seorang kiai besar dari pesantren induk diterima di kawasan seluas Propinsi, baik oleh pejabat pemerintah, pemimpin politik, maupun kaum hartawan. Bahkan K.H. Makhrus Ali, dari pesantren Lirboyo, Kediri, diterima otoritasnya dalam sekup nasional.
Kedua, dalam pesantren dipelihara literatur universal selama berabad-abad. Literatur ini dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan (pengajaran) kitab kuning misalnya, telah menciptakan kesinambungan tradisi yang benar dalam memelihara ilmu-ilmu agama sebagaimana yang diwariskan kepada masyarakat Islam oleh imam-imam besar di masa lalu. Dengan demikian, pesantren merupakan kiblat masyarakat Islam dalam mencari ilmu, hingga pada gilirannya, komunitas Islam adalah kiblat bagi masyarakat luas. Dan ketiga, adalah sistem nilai kepesantrenan yang unik dan terpisah dari sistem nilai masyarakat di luarnya. Berdasarkan kepatuhan harfiah terhadap ajaran agama dalam menjalani kehidupan nyata, sistem nilai itu tak bisa dilepaskan dari unsur-unsur utama, yakni kepemimpinan kiai dan literatur universal yang intens dipelajari. Pembakuan ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari, telah melegitimasikan dua hal, yakni kitab kuning sebagai sumber tata nilai, dan kepemimpinan kiai sebagai model dari implementasinya dalam kehidupan nyata. Dari kepemimpinan kiai yang mampu membangun solidaritas antar kelas di masyarakat, telah menanamkan secara tidak langsung kepada santri suatu etos holistic-integratif antara kesalehan individual dan sosial, juga antara ilmu dan amal.[5]
Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kultural yang relatif lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya.[6]
Menurut Gus Dur, pesantren juga disebut sebagai sub-sistem dari sistem kemasyarakatan dan kebangsaan. Pesantren memiliki peranan yang cukup besar dalam mensosialisasikan dan merealisasikan program-program yang menjadi kebijakan pemerintah. Ambil contoh, misalnya, pesantren berperan besar dalam mengupayakan pembudayaan nilai-nilai agama dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama di lingkungan pedesaan.
Pembudayaan nilai-nilai agama itu, merupakan sebuah proses penciptaan etik sosial dan etos kerja yang bersifat membangun. Penjabaran dan penyerapan ajaran-ajaran agama ke dalam etik sosial dan etos kerja semacam itu, akan menyediakan sarana hidup, juga pondamen yang kokoh bagi berjalannya program pemerintah. Dalam hal ini, Gus Dur mengutip pandangan filososof Indonesia yang dikaguminya, Soedjatmoko, bahwa dalam usaha pembangunan, yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan sosial yang ada, tetapi juga kemampuan untuk menilai kenyataan-kenyataan sosial itu berdasarkan kriteria yang ditarik dari suatu sistem nilai. Dalam hal ini, masih menurut Soedjatmoko, agama dapat memberikan sumbangannya serta berperan dalam menciptakan sistem nilai tersebut, sehingga dapat menghasilkan manusia pembangunan yang berani mengambil prakarsa dengan segala resikonya, yang merupakan ikhtiar manusia yang diamanatkan dan difirmankan oleh Tuhan.
Selain itu lembaga pesantren adalah satu alat yang digunakan oleh agama Islam untuk memainkan peranan yang mulia itu. Pesantrenlah yang menjadi tempat bertanya bagi masyarakat pedesaan. Jika mereka tidak mengerti mengenai program atau kegiatan yang tengah dirintis atau dilaksanakan pemerintah, maka pesantrenlah yang menjadi papan pantulan bagi masyarakat untuk mencernakan keseluruhan wajah program tersebut yang memang menyentuh secara langsung sendi-sendi kehidupan masysarakat. Dalam hal ini, peran pesantren lah yang menjadi panutan, diterima tidaknya, ataupun dilaksankan tidaknya suatu program pemerintah, dapat dikatakan bergantung kepada respon dan jawaban pesantren kepada masyarakat pedesaan atau umat pendukungnya.
Mengapa peranan pesantren demikian menentukan? Sekali lagi, sejarah pula yang dijadikan tau membuatnya demikian. Kita tahu, sejak zaman kerajaan dan zaman penjajahan, pesantren lah satu-satunya pranata dalam masyarakat dan memang sudah demikian watak aslinya yang menjadi penghubung antara masyarakat dengan pihak penguasa, di mana pesantren menjadi pembela kepentingan masyarakat dengan berdasarkan nilai-nilai agama. Karena itu, pesantren kerap dijuluki sebagai lembaga yang “anti-struktur” tapi populistis. Dan watak itu pula yang secara kental tercermin dalam gerak langkah Gus Dur, sehingga beliau bagaikan “kiai kelana”, penerus tradisi para wali atau para mubaligh penyebar Islam di Jawa yang senantiasa membumikan nilai-nilai agama (ajaran pesantren) dalam masyarakat, sekaligus membela kepentingan-kepentingan mereka di hadapan pihak penguasa.[7]
Di masa-masa yang lalu pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan kraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren  menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan kraton. Karena itu, dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama.
Dalam perkembangannya, pada tahun menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuh puluhan, menurut Gus Dur, pesantren tampak kecenderungannya sebagai lembaga pencetak para ulama. Penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat drop-out cukup besar.
Pada tahun-tahun berikutnya, timbul elemen baru di mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat ditampung di sekolah-sekolah luar baik karena fasilitas, biaya, dan lain sebagainya, maupun karena tak dapat memenuhi standarisasi, entah itu akhlak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir, pesantren mendapat tambahan fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-sekolah lain atau oleh orang tuanya.[8]
Sebagaimana yang telah diungkapkan diberbagai forum seminar. Gus Dur mengungkapkan tentang watak kemandirian dalam kehidupan pesantren. Diantaranya, pesantren menurut Gus Dur memiliki watak populis, terutama dari struktur pendidikannya. Sehingga memungkinkan siapa saja untuk menjadi santri, bahkan mereka yang tidak memiliki kemampuan financial sekalipun. Kemudian fungsi pesantren sebagai alat transformasi kultural secara total, telah membuatnya mampu mandiri dengan cara mengembangkan pola hidup dan institusi-institusinya sendiri. Dan yang tidak kalah uniknya, dari watak kemandirian itu adalah kegigihan pesantren untuk mempertahankan etika sosialnya sendiri, misalnya, adalah rasa kecukupan dengan apa yang ada pada diri sendiri.[9]
Gus Dur juga mengungkapkan, bahwasannya pondok pesantren adalah suatu lembaga yang bersifat komplementer. Kalau dilihat lembaga-lembaga pendidikan yang ada di dalamnya, ada pengajian klasik, yang dalam bahasa pesantren disebut manhajáam (sistem umum), di mana ada tambahan sekolah-sekolah agama, seperti madrasah Aliyah. Ada yang bersifat klasik tanpa menyediakan  sekolah sama sekali, seperti pada pendidikan di podok pesantren kuno seperti API Tegalrejo Magelang. Yang demikian itu dinamai dalam bahasa Arab manhaj salafi. Keduanya dapat berjalan seiring, yang satu menjadi komplemen bagi yang lain karena prinsip-prinsip yang diajarkan itu sama.[10]
Jika menilik sejarah berdirinya, pesantren didirikan lantaran tuntutan kebutuhan zaman. Oleh karenanya, menurut Gus Dur, pesantren sebagai lembaga yang bersifat kompelementer senantiasa dituntut mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, tanpa tercabut dari akar tradisi serta khasanah keagamaannya. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan, Pesantren diharapkan mampu berfungsi sebagai pelopor pembaharuan (agent of change).
Barangkali yang dikemukakan diatas terlampau ideal bagi pesantren, yang menurut Gus Dur hal itu dikarenakan ketidakrapian, ketidak menentuan dan adanya kekisruhan di dalam sistem pendidikan pesantren. Apa yang dibutuhkan, menurut Gus Dur, adalah suatu komitmen pencarian jalan tengah, tradisi keagamaan yang seimbang dengan tuntutan-tuntutan praktis yang dalam merespon modernitas dan kebutuhan akan  kemajuan salah satu kunci untuk berhasil dalam hal ini adalah menempatkan kalangan muda dalam kepemimpinan pesantren. Selanjutnya, mengenai hal ini Gus Dur menambah prasyarat yang kedua, yaitu rekonstruksi total terhadap kurikulum dan materi-materi pengajaran. Prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas-lingkup penuh dan dalam, adalah rekonstruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam sekala besar-besaran.[11]
Hanya dengan cara ini kepemimpinan dinamis  di pesantren dapat mencegah semakin berlarut-larutnya kemelut di pesantren, dan mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman.
Demikian pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang pendidikan pesantren. Ia meramu tradisi pesantren dengan pemikiran-pemikiran modern, dan itu yang menjadikannya sebagai jendela pemikiran kaum santri.


                [1] Greg Barton, Biografi singkat, Op. Cit., hal. 118-119.
[2] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal.ix-x.
[3] A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia, Klik.R, Yogyakarta, Cet. I, 2007, hal.7.
[4] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal. 3-4.
[5] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, Op. Cit., hal.23-24.
[6] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal. 10.
[7] Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, Op. Cit., hal.278-279.
[8] Abdurrahman Wahid, Prisma pemikiran Gus Dur, Op. Cit., hal.113-114.
[9] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, Op. Cit., hal.68.
[10] A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan kebangkitan Indonesia, Op. Cit., hal.ix.
[11] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal. 63-64.

GUSDUR - BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID


A.    Biografi K.H. Abdurrahman wahid
1.      Latar Belakang Keluarga K.H. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender islam tahun 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Sholehah.[1] Gus Dur (sapaan akrab Abdurrahman Wahid), adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyári, pendiri Nahdlatul ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang membuka kelas bagi santri perempuan.[2] Kedua kakek Gus Dur, sangat dihormati di kalangan NU, baik karena peran mereka dalam mendirikan NU maupun karena posisi mereka sebagai ulama. Berbeda dengan yang biasa terjadi pada kaum ulama tradisional, kiai Hasyim Asyári, dan terlebih lagi putranya, kiai Wahid Hasyim, yang menjadi Mentri Agama pada era pemerintahan Soekarno, juga dihormati oleh masyarakat menengah kota oleh karena kedekatannya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir Perang Dunia II. Oleh karena itu, kedua orang ini secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional. Nama mereka, sebagaimana juga nama pahlawan-pahlawan nasional lainnya, diabadikan sebagai nama-nama jalan di Jakarta pusat.[3]
Kakek Gus Dur dari pihak ayah, kiai Hasyim Asyári, dilahirkan di Jombang pada bulan Februari 1871 dan meninggal di Jombang pada bulan Juli 1947. Dia adalah salah seorang tokoh yang mendirikan NU pada tahun 1926. Dia sangat dihormati sebagai pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan tradisional. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak memberi inspirasi sekaligus sebagai seorang terpelajar. Akan tetapi, dia juga seorang nasionalis yang tangguh dalam berpendirian. Seperti yang kita ketahui banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.[4]
Kiai Hasyim, sebagai seorang ulama, pada masa perjuangan menegakkan negara Republik Indonesia, memiliki peran yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Semasa hidupnya beliau sangat dekat dengan para pejuang. Sering kali, para pejuang seperti Jendral Sudirman dan Bung Tomo, datang untuk meminta petunjuk tentang strategi perjuangan bangsa, dan tentu saja meminta doá.[5]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pendiri dan Pengurus Besar NU ini, mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam Resolusi itu dinyatakan, bahwa tindakan mempertahankan Republik Indonesia adalah kewajiban berjihad. Ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah Islam, sebuah organisasi menyatakan kewajiban mempertahankan negara yang bukan negara Islam (Republik Indonesia), sebagai kewajiban agama. Ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim Asyári selalu berpikiran kebangsaan dalam hal-hal yang menyangkut negara. Tampak dari sikapnya itu untuk mengikuti faham kebangsaan sebagai prinsip kedua, setelah pikiran akidah/keimanan yang menjadi basis pandangan Islam.[6]
Keluarga  kiai Hasyim Asyári dengan bangga menyatakan bahwa meraka adalah keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI M., dan terkenal sebagai salah seorang raja terakhir kerajaan Hindu-Budha yang tersebar di Jawa, kerajaan Majapahit. Bahkan yang lebih penting lagi, tokoh legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya VI, dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Sedangkan puteranya, Pangeran Benawa, dikenang sebagai orang pertama yang meninggalkan kerajaan untuk sufisme. Silsilah ini dianggap sebagai hal yang sangat baik dalam masyarakat tradisional Jawa.[7]
Kiai Hasyim Asyári belajar dipesantren keluarga hingga empat belas tahun, dan kemudian keluar masuk pesantren di Jawa Timur dan Madura selama tujuh tahun, dalam tahun 1892 Hasyim pergi ke Makah. Disana dia menjadi seorang ahli hadits, tentang cerita lucu (anekdot) mengenai kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, dia menyelesaikan studinya di makah di bawah bimbingan seorang guru terkenal dari Sumatra Barat, Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau. Banyak dari murid Syaikh Chatib, termasuk kyai Bisri Syansuri, yang kemudian menjadi ulama besar di Indonesia. Setelah belajar di Makah selama tujuh tahun, Hasyim kembali ke jombang untuk mendirikan pesantren. Pesantren kyai Hasyim dibuka pada tahun 1899 dan segera terkenal sebagai pusat belajar. Kyai Hayim memperkenalkan sejumlah pembaruan terhadap sistem pengajaran di pesantren, suatu hal yang kemudian ditiru secara luas oleh pesantren-pesantren lainnya. Pembaruan-pembaruan tersebut, antara lain, adalah dibuatnya kelas-kelas yang terstruktur, pengajaran yang bertingkat secara sistematik, and diskusi kritis dalam kelas. Kurikulum di Pesantren Tebuireng berkembang dengan mantap dan pada tahun 1920-an, bahasa-bahasa modern, termasuk bahasa Melayu dan bahasa Belanda, juga mulai diajarkan kepada santri. Kepada mereka juga diajarkan matematika dan ilmu pengetahuan. Pada saat yang sama, reputasi kyai Hasyim makin meningkat sebagai pembaru dalam pemikiran dan praktik Islam.[8]
Pada tahun 1926, yakni setelah NU didirikan, kyai Hasyim diangkat menjadi Rais Akbar, yang secara harfiah berarti Pemimpin Agung. Dalam posisi itu, dia menjadi kepala dari Dewan Penasihat Agama organisasi ini. Selain itu, dia juga diberi gelar kehormatan yang jarang diberikan kepada orang lain, yakni sebagai Guru Agung atau Hadhratussyaikh dalam bahasa Arab. Akan tetapi, bagi kalangan di luar pesantren, dia lebih dikenal sebagai seorang nasioanalis yang dengan keras melancarkan kritik terhadap pemerintah penjajah Belanda.[9]
Kakek Gus Dur dari pihak ibu, kiai Bisri Syansuri tidaklah setenar kiai Hasyim Asyári dalam masyarakat kota yang sekular. Akan tetapi, dia pun aktif dalam pergerakan nasioanal. Bisri Syansuri dilahirkan pada bulan September 1886, di daerah pesisir sebelah utara Jawa Tengah, sebuah daerah yang mempunyai banyak pesantren. Di daerah pesisir ini Islam masuk lebih awal daripada di daerah pedalaman, yang masih menganut agama Hindu-Budha. Bersama dengan Hasyim Asyári, dia dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi lahirnya NU. Pada tahun 1917, dia memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri puteri di pesantrennya yang baru didirikan di desa Denanyar, yang terletak di luar Jombang. Setelah belajar di bawah bimbingan kiai Hasyim Asyári di pesantren Tebuireng selama enam tahun dan kemudian melanjutkan studinya ke Makah selama dua tahun, dia magang di Pesantren Tambakberas selama dua tahun sebelum akhirnya mendirikan pesantren sendiri di Jombang. Dengan segera, pesantren Denanyar menjadi sama terkenalnya dengan pesantren Tambakberas dan pesanttren Tebuireng, walaupun masih terdapat perbedaan dalam gaya pengajaran, yang merupakan cerminan dari kepribadian kiai-kiai yang memimpin pesantren tersebut. Seperti dilakukan oleh kiai Hayim Asyári sebelumnya, kiai Bisri Syansuri juga mengambil sebidang tanah yang luas, dan benar-benar tandus. Setelah beberapa lama tanah itu berubah menjadi komunitas yang makmur dalam pengembangan pertanian, pembelajaran, dan keruhanian. Kiai Bisri telah membuktikan dirinya bukan sekedar seorang ahli fiqh (yurisprudensi Islam), dan seorang administrator pendidikan yang berbakat, melainkan dia juga seorang ahli pertanian yang cakap. Pesantrennya di Denanyar terkenal oleh karena pendekatan yang teratur dan disiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.[10]
Sebagai mana yang kita ketahui di atas, kedua kakek Gus Dur adalah ulama besar yang sangat dihormati dikalangan NU, begitu pula dengan ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Ayah Gus Dur bergabung dengan NU dan memiliki keinginan kuat untuk aktif dalam kancah politik dan ikut ambil bagian dalam gerakan nasionalis.[11] Pada tahun 1939, ia terlibat dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan juga merintis perkembangan Hisbullah, yang merupakan sayap militer MIAI. Ia bergerak di Jakarta bersama-sama dengan kaum nasionalis “papan atas”, seperti Soekarno dan Hatta tanpa menimbulkan kecurigaan pihak Jepang. Pada bulan Oktober tahun 1943, Jepang membubarkan MIAI dan menggantinya dengan suatu badan payung yang mereka namakan Masyumi, yang diketuai oleh Kiai Hasyim Asyári, dan Wahid Hasyim sebagai wakilnya. Wahid Hasyim mengembangkan Masyumi menjadi suatu komponen yang dapat dipercaya dalam gerakan nasionalis. Ia juga terlibat dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945, dan demikian Gus Dur percaya, ayahnya terlibat dalam pengembangan falsafah Negara Indonesia, Pancasila.[12] Ini bisa disimak dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia adalah anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Tidak salah jika ayah Gus Dur diperlakukan secara resmi sebagai founding father dari negara ini.[13] Setelah revolusi, Wahid Hasyim memangku jabatan sebagai Menteri Agama. Ia menduduki jabatan dalam lima kabinet dan baru melepaskannya pada bulan April 1952.[14]
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ayah Gus Dur adalah seorang ulama yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan bangsa dan menjadi tokoh nasionalis terkemuka. Ayah Gus Dur dilahirkan di Tebuireng, Jombang, pada bulan Juni 1914. Ia adalah putera laki-laki pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara. Masa kecilnya, ia belajar di madrasah milik ayahnya. Ia belajar membaca Al-Qurán dengan suara keras dan ketika berusia tujuh tahun ia telah dapat membaca kitab suci ini seluruhnya. Ketika berusia dua belas tahun ia menyelesaikan pelajarannya di madrasah dan mempunyai kecakapan yang cukup untuk membantu ayahnya mengajar. Ia diberkati ingatan yang kuat dan gemar menghafal puisi klasik Arab. Pada usia tiga belas tahun, ia meninggalkan Tebuireng dan sebagaimana kebiasaan santri saat itu, ia pun pergi dari satu pesantren kepesantren lainnya. Setelah cukup lama berpindah-pindah pesantren untuk mendapatkan berkah dari sang kyai, ia pun cepat-cepat kembali ke Tebuireng dan dengan persetujuan ayahnya ia melakukan studi pribadi selama empat tahun.
Ketika Wahid Hasyim berusia delapan belas tahun, ia berlayar ke Makah untuk belajar selama dua tahun di sana. Ketika kembali ke Tebuireng tahun 1934, dia pun mulai mengajar di pesantren milik ayahnya dan mengembangkan gagasan mengenai sesuatu yang saat itu telah menjadi obsesinya, yaitu mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik. Gagasannya itu baru terealisasi ketika ia mendirikan madrasah modern di lingkungan Tebuireng.[15]
Pada tahun 1930, Wahid Hasyim, yang ketika itu berusia 29 tahun, menikah dengan Solichah, putri dari Kyai Bisri Syansuri. Dari pernikahan itu lahirlah putera pertama mereka, yaitu Abdurrahman Wahid. Solichah yang watu itu masih berusia muda tidak mengenyam banyak pendidikan, namun ia selalu ingin tahu dan mempunyai fikiran aktif dan keinginan kuat. Ia mendapat pendidikan di sekolah ayahnya, tetapi sebagaimana banyak pelajar madrasah lainnya, ia pertama-tama belajar membaca dan menulis dalam tulisan Arab. Wahid Hasyim lantas mengajarinya membaca huruf latin, serta bahasa yang merupakan alat percakapan orang Belanda dan Indonesia, yaitu bahasa Melayu lokal yang dipilih oleh kaum nasionalis saat itu sebagai bahasa bangsa yang baru.[16]
Solichah mungkin bukan perempuan yang dilahirkan untuk menjadi seorang cendekiawan sebagaimana suaminya, namun ia juga bukan seorang ibu rumah tangga biasa. Boleh saja ia menikah muda dan hanya sedikit mengenyam pendidikan sekolah, boleh saja ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk keluarganya, namun ia juga teman dekat dan orang kepercayaan Wahid Hasyim. Bagaimanapun, selama 14 tahun mendampingi suaminya, Solichah telah tumbuh berkembang jauh melampui teman sebayanya di Jawa Timur. Ia telah mengembangkan kegemarannya akan membaca dan terbiasa mengikuti perkembangan keadaan terakhir. Ia menjadi rekan aktif bagi karir suaminya dan makin memainkan peran kecilnya sendiri, terutama dikalangan NU. Setelah suaminya wafat, pengaruhnya kian membesar dan ia menjadi tokoh penting dalam komunitasnya. Di rumah, ia terus mendorong anak-anaknya agar tetap memelihara semacam perdebatan bebas, dan seru mengenai masalah-masalah yang  dibicarakan oleh suaminya. Ia membuat anak-anaknya merasa bahwa mereka dapat dan memang seharusnya melibatkan diri dengan banyak pengunjung yang terus-menerus mendatangi rumah. Ia juga membuat anak-anaknya terdorong untuk membaca surat kabar dan buku-buku yang berserakan di rumah mereka.
Bagi Solichah, Wahid Hasyim adalah orang yang sempurna. Kematiannya pada bulan April 1953 membuatnya mengalihkan semua ambisi dan aspirasinya kepada Gus Dur. Baginya, adalah hal yang wajar bahwa putera tertuanya harus meneruskan kerja yang telah dirintis oleh sang ayah dan memenuhi bagi Solichah sendiri, apa yang sudah digariskan nasib. Bagi Gus Dur, Wahid Hasyim dijadikan teladan. Kehidupan sang ayah menjadi jalan hidup yang harus ditempuhnya sendiri nanti.[17]
Rincian silsilah Gus Dur  baik dari ayah dan ibu adalah sebagai berikut.
Dari pihak ayah dimulai dari Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) → Djoko Tingkir (Karebet) → Pangeran Banawa → Pangeran Sambo → Ahmad → Abd. Jabar → Shoichah → Lajjinah → Winih → Muhammad Hasyim Asyári → Wahid Hasyim → Abdurrahman Wahid Ad Dakhil (Gus Dur).
Dari pihak ibu dimulai dari Brawijaya VI (Lembu Peteng) → Djoko Tingkir (Karebet) → Pangeran Benawa → Pangeran Sambo → Ahmad → Abd. Jabar → Soichah → Fatimah → K. Hasbullah → Nyai Bisri Syansuri → Solichah → Abdurrahman Wahid Ad Dakhil (Gus Dur).
Dari sini kita melihat bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau trahnya merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah putih, kalangan kiai. Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya para pahlawan. Kakeknya, K.H. Hasyim Asyári, dan ayahnya, K.H Wahid Hasyim adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasioanal.
Melihat silsilah tersebut kiranya wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat, mental, dan perjuangan orang-orang besar dan memang menjadi orang besar, selain besar fisiknya, juga besar pemikirannya, besar perjuangannya, dan besar hatinya.[18]




2.      Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan K.H. Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab kita sapa Gus Dur, adalah salah satu tokoh bangsa yang pemikirannya sangat fenomenal, unik dan langka. Penampilannya terlihat sederhana. Kehangatan selalu terpancar dari cara dia menghadapi para tamunya yang tak hentinya berkunjung.[19] Ada ciri khas yang sangat istimewa pada sosok dirinya, yang membedakannya dengan sosok dan tokoh Indonesia dari dulu sampai sekarang, yakni cara bicaranya yang ceplas-ceplos tanpa ada rasa takut. Bisa dikatakan sosok Gus Dur adalah salah satu kebanggaan Indonesia di tingkat dunia, karena hanya beliaulah yang kurang sempurna secara fisik tapi bisa dan pernah menjadi Presiden. Di samping itu, rasa percaya dirinya begitu tinggi, baik saat ia berada di kekuasaan maupun diluar kekuasaan. Yang membuatnya terkenal adalah konsistensinya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan akan nilai-nilai kemanusiaan itu terlihat sebagaimana ia memerhatikan nasib kalangan kecil yang tertindas, termasuk kalangan minoritas.
Pemikiran-pemikirannya bisa dikatakan ajaib karena sering melakukan terobosan unik. Tulisan-tulisan esainya yang sederhana mengenai berbagai hal sangat terkenal, mulai demokrasi, nasionalisme, perpolitikan, keagamaan, ke-NU-an, pesantren, geopolitik dunia, yang disampaikan dengan cara sederhana dan halus, padahal dalam tulisan tersebut sebenarnya banyak mengutip para pemikir kelas berat, seperti Karl Marx, Lenin, Tolstoy, maupun Salman Rusdhy.[20]
K.H. Abdurrahman Wahid dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam yang secara luas tidak atau tepatnya kurang di apresiasi adalah bahwa Abdurrahman itu bangga sebagai seorang muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, Abdurrahman adalah seorang tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.[21]
Abdurrahman adalah putra salah seorang pendiri NU yang terkemuka dan cucu salah seorang bapak pendiri bangsa (founding fathers), berasal dari keluarga NU yang paling utama dan menjadi pewaris dinasti kedua. Mengetahui latar belakang itu agaknya tidak aneh bila Abdurrahman membanggakan warisan Islam tradisionalnya.[22]
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Addakhil berarti “sang penakhluk”. Sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata Addakhil tidak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, Abdurrahman Wahid, dan kemudian dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kyai yang berarti abang atau mas.[23]
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Gus Dur mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Fatah (Tan Eng Hwa), pendiri kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Cempaka, putri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri, berdasarkan riset seorang peneliti Prancis, Louis-Charles Damais di identifikasikan sebagai Syaikh Abdul Qodir Al-Shini yang ditemukan makamnya di Trowulan.[24]
Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya yang menghadiri perayaan hari pesta ulang tahunnya di Istana Bogor pada hari jumát 4 Agustus 2000 tak sadar bahwa sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan juga pribadinya, ada banyak hal yang tidak seperti apa yang terlihat. Gus Dur memang dilahirkan pada hari ke empat bulan ke delapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan ke delapan dalam penanggalan Islam. Jadi sebenarnya dia lahir pada 4 Sya’ban 1359 Hijriyah atau 7 September 1940 Masehi tapi dianggap lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 Masehi.[25]
Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Sholehah. Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi muslim abangan di Jawa, yang sering menggunakan nama ayah setelah namanya sendiri. Sesuai dengan kebiasaan Arab sendiri, ia adalah Abdurrahman putra Wahid sebagaimana ayahnya sendiri, Wahid putra Hasyim. Namun demikian sebagaimana kebiasaan orang Jawa, nama tersebut akhirnya mengalami perkembangan dan berbeda dengan nama resminya.
Kehadiran anak bernama Abdurrahman Wahid ini sangat membahagiakan ke dua orang tuanya, karena dia adalah anak laki-laki dan anak pertama. Ia dipenuhi oleh optimisme seorang ayah. Ini bisa terlihat dari pemberian nama Abdurrahman Addakhil, terutama kata Addakhil jelas merujuk dari nama pahlawan dari Dinasti Umayah.[26]
Menurut sanak saudara Gus Dur yang lebih tua, Gus Dur adalah anak yang tumbuh subur dan tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, ia sering menunjukkan kenakalannya. Kadang-kadang karena kenakalannya itu mengakibatkan ia di ikat dengan tambang ke tiang bendera dihalaman depan sebagai hukuman bagi leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan.[27]
Masa kecil Gus Dur bukan hanya di Jombang. Ketika umur 4 tahun, tepatnya 1944 beliau diajak ayahandanya untuk pindah ke Jakarta karena sang ayah mendapat tugas baru mengurus persoalan agama di masa penjajahan Jepang, dan mengurusi persatuan organisasi Islam, MIAI dan kemudian Masyumi.
Di Jakarta inilah Gus Dur belajar banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya tetapi juga dipergaulan ayahnya yang tidak hanya kalangan pesantren, tetapi juga kalangan nasionalis, pergerakan, bahkan termasuk kalangan komunis, seperti kasus bagaimana ia sering membukakan pintu tengah malam pada seorang yang mengaku petani bernama Husain, yang kemudian hari kita kenal sebagai Tan Malaka.
Dari sinilah kita mengetahui bagaimana sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal masa kecilnya ia dikenalkan dunia pesantren di Jombang. Kemudian pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta, dan berkenalan dengan  berbagai tokoh pergerekan. Inilah yang menjadikan sosok Gus Dur dikemudian hari sangat kaya akan minat pengetahuan, dan mampu menjembatani secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren dan dunia modern.[28]
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali kejombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949 keluarga Gus Dur pindah ke Jakarta karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai dirumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus Dur, karena secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering bertamu kerumahnya.[29]
Masa pendidikan umum yang dilakukan oleh Gus Dur dilakukan di Jakarta. Ia memulai sekolah dasarnya di sekolah dasar KRIS di Jakarta Pusat. Namun dikelas empat Gus Dur pindah ke sekolah dasar Matraman Perwari.[30] Sebelum memasuki sekolah dasar atau ketika masih kecil, Gus Dur belajar kepada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca Al-Qurán. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al-Qurán.
Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, disamping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, berkebangsaan Jerman yang telah masuk Islam dan telah mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang bisa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.[31]
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan atau ide-idenya dalam sebuah tulisan. Wajar jika dikemudian hari berbagai tulisan-tulisan Gus Dur menghiasi berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katholik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar bahasa Inggris.[32]
Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ali Ma’sum, Krapyak. Siang hari sekolah di SMEP dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa SMEP tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur didorong oleh gurunya untuk menguasai bahasa Inggris sehingga dalam waktu satu sampai dua tahun Gus Dur menghabiskan bebrapa buku yang ditulis dalam bahasa Inggris. Diantara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach dan William Faulkner. Disamping itu ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul The Story of Civilazation. Yang sebenarnya buku tersebut selum saatnya untuk dibaca oleh anak usia belasan tahun. Namun Gus Dur mampu melakukannya dengan baik.
Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatiannya. Di samping membaca, Gus Dur senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan pemahaman yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dura pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice Of America dan BBC London.[33]
Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMEP, Gus Dur melanjutkan belajarnya di pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, di bawah asuhan K.H. Chudhari.[34] Dan setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur kembali ke Jombang dan tinggal di pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Falah, ia menjadi seortang ustadz dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar.[35]
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang Nasionalis yang dinamis di Kairo, menjadi keemasan bagi kaum intelektual. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan mendapat perlindungan yang cukup. Dari situlah pendidikan Prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, ia masuk dalam Departemen Of  Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970.
Ketika sedang kuliah di Universitas Baghdad, Irak, Gus Dur menerima sepucuk surat yang mengabarkan bahwa adiknya yang bernama Aisyah segera menikah. Karena tidak mau dilangkahi sang adik, Gus Dur meminta tolong kakeknya, K.H. Bisri Syansuri untuk melamar gadis pujaannya yang tak lain adalah bekas muridnya di pesantren Tambakberas bernama Sinta Nuriyah putri H. Abdul Syukur, pedagang daging terkenal. Tidak hanya itu, Gus Dur juga meminta tolong kepada kakeknya untuk mewakili dirinya dalam pernikahan. Pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari Gus Dur buat keluarga istrinya. Sebagai mana permintaan dia, wakil pengantin laki-laki adalah K.H. Bisri Syansuri.[36]
Selepas belajar di Baghdad, Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa, yaitu Universitaas Leiden, Belanda. Akan tetapi ia kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui, utamanya dalam bahasa, misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, Gus Dur harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik disamping bahasa Jerman. Gus Dur tidak memenuhi persyaratan itu. Akhirnya Gus Dur melakukan kunjungan-kunjungan dan menjadi pelajar keliling dari satu Universitas ke Universitas lainnya.
Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di perantauan, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal Tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke Mc Gill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam.[37]
Kembalinya Gus Dur ke Indonesia dikarenakan, ia terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan studi keliling Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal karirnya.[38]
Setelah selesai masa studinya di luar negeri, Gus Dur kembali ke Jakarta dan berharap masih bisa pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Di Indonesia Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, di samping turut mengembangkan pesantren. Pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Akibatnya Gus Dur batal belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.[39]
Dari tahun1972 hingga 1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asyári, Jombang. Kemudian dari tahun 1974 hingga 1980, ia menjadi sekretaris umum pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini, ia banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU, diantaranya, menjadi katib awal Syuriyah NU tahun 1979, di Jakarta. Sejak pindah ke Jakarta tahun 1978, ia menjadi pengasuh pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Di samping itu, ia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan aktifitas di Jakarta, termasuk mengajar di dalam program pelatihan bulanan kependetaan Protestan.
Sejak pertengahan dasawarsa 70-an ia secara teratur melakukan kontak dengan beberapa intelektual muslim progresif lainnya seperti Nurcholis Madjid dan Djohan Effendi. Ketika pindah ke Jakarta, ia bergabung dengan mereka didalam serangkaian forum akademik dan lingkaran studi. Abdurrahman dengan sangat mudah beradaptasi dengan kelompok-kelompok ini, kendati latar belakang formalnya sangat berbeda dengan rekan-rekannya di Jakarta. Kenyataanya secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Kendati ia tidak sempat belajar secara formal di Barat, namun ia sudah membaca secara mendalam pemikiran Barat sejak usia muda.[40] Selain itu, studi-studinya di Baghdad telah memberinya dasar-dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak liberal, bergaya Barat, dan sekular.
Partisipasi aktifnya dalam kelompok-kelompok studi Islam Jakarta, dan diskusi-diskusi umum mengenai perkembangan pemikiran Islam, merupakan awal keterlibatannya dalam kehidupan intelektual yang lebih luas di kota itu. Dari tahun 1982 hingga 1985, sebagai contoh, ia menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada saat yang bersamaan, ia dua kali terpilih menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Nasional, suatu penunjukan yang tidak umum bagi seorang tokoh dari dunia pesantren, kecuali tipikal buat seorang seperti Abdurrahman.
Dari tahun 1980 hingga 1983, ia menjadi nominator dari Agha Khan Award untuk arsistektur Islam di Indonesia. Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat di Majlis Ulama Indonesia (MUI). Sejak 1994 ia menjadi penasehat Internasional Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syariáh and Secular Law, di Den Haag.[41]
Gus Dur, selain aktif di NU, ia juga memasuki dunia politik. Pada tahun 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan atau PPP. Tahun 1984, Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim Ahlul Halli Wal Aqdi untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo pada Musyawaroh Nasional.[42] Gus Dur menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selama 3 periode. Pada tahun 1999 dalam muktamar di Lirboyo Kediri, ia mengundurkan diri karena terpilih sebagai Presiden RI yang ke IV.[43]
Selama menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakkan fondasi perdamaian. Selain usaha perdamaian dalam wadah NKRI itu, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Di bidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia, karena perjuangannya membela hak kalangan minoritas etnis Tionghoa.[44] Berbagai gebrakan juga dilakukan oleh Gus Dur, diantaranya melakukan pemisahan antara TNI dan Kepolisian, dan memberikan hak yang sama kepada masyarakat pribumi dan non pribumi.[45]
Pada 23 Juli  2000, muncul dua skandal yang menimpanya, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Dua skandal ini menjadi senjata bagi para lawan politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Perjalanan Gus Dur menjadi Presiden berlangsung selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan  NKRI dalam wadah kemajemukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tak terlupakan.[46]
Setelah dilengserkan dari kursi kepresidenannya, Gus Dur tidak mutung, ngambek, karena merasa dikerjain temannya yang sam-sama memperjuangkan reformasi. Ia tetap menjalin tali silaturrahmi dengan Megawati, Amien Rais, Wiranto, Prabowo, dan Susilo Bambang Yudoyono. Ia terus melakukan perjuangan dan konsisten untuk memperjuangkan pluralisme, demokrasi, dan humanisme.
Begitulah sosok Gus Dur, sosok pejuang sejati, militan, pintar, dan penuh strategi. Pola perjuangan Gus Dur tidak monoton, andaikan ia pemain sepak bola, ia bisa bermain cantik, mengatur fisik saat menyerang, saat bertahan, untuk memperoleh kemenangan, dan selalu diselingi dengan tarian-tariannya sehingga penonton akan berdecak kagum, terhibur, dan menyatakan salut atas permainannya. Tidak heran jika kematiannya menjadikan haru-birunya rakyat Indonesia. Ia wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama. Bukan hanya NU dan PKB saja yang memiliki Gus Dur, namun pemuka-pemuka agama Katholik dan Kristen juga merasakan hal itu. Kalau bukan seorang pejuang yang dekat dengan semua kalangan, tidak mungkin kepergiannya menjadikan kita merasa kehilangan, meneteskan air mata, walau mungkin kita bukan keluarganya.[47]
Gus Dur banyak meninggalkan karya tulis pada kita. Kebanyakan karya tulisnya adalah berbentuk artikel, opini, atau esai. Salah satu ciri khas dari tulisannya adalah bagaimana semua persoalan yang berat dibuat cair dan halus atau mudah sehingga enak untuk dibaca khalayak umum. Selain itu beliau juga meninggalkan karya di atas tanah, yaitu pengembangan pluralisme, demokrasi di berbagai organisasi, baik soal keagamaan, baik organisasi sosial politik, maupun lembaga swadaya masyarakat, atau berbagai komunitas lintas agama, ras suku, maupun ideologi. Karena perjuangan dan pemikirannya atas kemanusiaan baik di Indonesia dan di dunia, Gus Dur banyak sekali mendapat gelar kehormatan dari berbagai lembaga dan mendapat berbagai penghargaan dari berbagai lembaga lokal, nasional, maupun internasional. Gus Dur juga diakui kapasitasnya dikalangan akademik sehingga beberapa kali mendapat gelar dari berbagai universitas.[48]
Demikianlah riwayat hidup dan perjalanan pendidikan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dimulai sejak kecil didalam lingkungan pesantren, juga di wilayah paling metropolis sampai negara-negara asing seperti Mesir, Baghdad, Irak dan Belanda. Beliau mempelajari berbagai ilmu yang akhirnya menjadi tokoh agama yang terkemuka.


[1] M. Hamid, Gus Gerr Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Pustaka Marwa, Yogyakarta, Cet. I, 2010, hal. 13.
[2] Ibid, Hal. 14.
[3] Greg Barton, Biografi Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, Cet. IX, 2010, hal. 26.
                [4] Ibid, hal. 26-27.
                [5] Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cet. I, 2008, hal. 106.
                [6] Alfian Muhammad, Helmi Jacob, Gus Dur Bertutur, Harian Proaksi Bekerja Sama Dengan Gus Dur Foundation, Jakarta, Cet. I, 2005, hal. 253-254.
[7] Greg Barton, Op. Cit., hal. 27.
[8] Ibid, hal. 28.
[9] Ibid, hal. 28-29.
[10] Ibid, hal. 29.
[11] Ibid, hal. 33.
[12] Ibid, hal. 38.
                [13] Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. I, 2009, hal. 240.
[14] Greg Barton, Op. Cit., hal. 39.
[15] Ibid, hal. 31-33.
[16] Ibid, hal. 34.
[17] Ibid, hal. 48.
[18] Muhammad Rifai, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009, Garasi House Of Book, Jogjakarta, Cet. I, 2010, hal. 25-26.
[19] Ibid, hal. 11.
[20] Ibid, Hal. 12.
[21] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, Cet. II, 2010, hal. xxiii.
[22] Ibid, hal. xxvi.
[23] M. Hamid, Gus Gerr Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Op. Cit., hal. 14.
[24] Ibid, hal. 15.
[25] Greg Barton, Biografi Gus Dur, Op. Cit., hal. 25.
[26] Muhammad Rifai, Op. Cit., hal. 26-27.
[27] Greg Barton,  Op. Cit., hal. 40.
[28] Muhammad Rifai, Op. Cit., hal. 28.
[29] M. Hamid, Op. Cit., hal. 15.
[30] Muhammad Rifai, Op. Cit., hal. 30.
[31] M. Hamid, Op. Cit., hal. 30.
[32] Muhammad Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, Pustaka Warisan Islam, Jombang, 2010, hal. 5.
[33] Ibid, hal. 6-8.
[34] M. Hamid, Op. Cit., hal. 32.
[35] Ibid, hal. 33.
                [36] Muhammad Mirza, Op. Cit., hal. 14.
                [37] M. Hamid, Op. Cit., hal. 36.
                [38] Ibid, hal. 37.
                [39] Ibid, hal. 41.
                [40] Di pesantren Tegalrejo masih ada peninggalan penting yang bisa menunjukkan perhatian intelektualnya yang luas. Di bekas kamarnya ada lemari yang berisi buku-bukunya, yang sebagian besar buku-buku serius dalam bahasa Inggris. Kebanyakan dari waktunya di Tegalrejo ia habiskan dengan membaca filsafat Barat dan teori sosial. Lihat Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997, hal. 116.
                [41] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997, hal. 165-166.
                [42] Muhammad Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, Op. Cit., hal. 20.
                [43] Ibid, hal. 24.
                [44] M. Hamid, Op. Cit., hal. 54.
                [45] Muhammad Mirza, Op. Cit., hal. 29.
                [46] M. Hamid, Op. Cit., hal. 57.
                [47] Muhammad Rifai, Op. Cit., hal. 47.
[48] Lihat buku karangan Muhammad Rifai “Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009”, Garasi House Of Book, Yogyakarta, 2010. Karya-karya Gus Dur di halaman 51-52. Gelar kehormatan dan penghargaan di halaman 53, dan beberapa gelar yang dianugerahkan kepadanya halaman 55.