Sabtu, 10 Desember 2011

Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Pesantren


Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Pesantren
Pada awal dawarsa 1970-an, Mukti Ali, Mentri Agama yang baru, menyerukan adanya peremajaan sistem nilai pesantren dan berkeinginan agar pesantren bisa bertindak sebagai agen perubahan dalam masyarakat Indonesia supaya memfasilitasi pengembangan masyarakat. Dalam menjelaskan visinya ini, Mukti Ali, yang dikenal sebagai seorang pemikir yang cukup progresif dan seorang pembimbing yang baik bagi kaum intelektual muda, suka sekali mengutip ayat Al-Qurán: “Jadilah diantara kamu sekelompok orang yang akan melakukan pekerjaan baik dan melaksanakan kewajiban agama dan mematuhi apa yang dilarang dalam agama.” Mukti Ali memilih teks ini untuk menunjukkan bahwa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari pemuka-pemuka agama yang berpandangan jauh ke depan dan berkomitmen dapat memainkan peran sebagai katalisator dalam masyarakat dan hal ini merupakan bagian dari tugas Islam. Tergolong oleh adanya kesempatan yang terbuka di Indonesia, demikian ungkap Gus Dur, ia memutuskan untuk menunda studinya dan untuk tahun ke depan ia akan berkonsentrasi pada upaya bagaimana membina pesantren.[1]
Kebanyakan khalayak sudah mafhum kalau Gus Dur berasal dari keluarga pesantren. Ia lahir, besar, dan berkembang di lingkungan pesantren. Gus Dur adalah orang yang “berangkat dari pesantren” dan semestinya kelak juga akan “kembali ke pesantren”. Kendati demikian, barangkali akan sedikit sekali orang yang mengetahui bagaimana pemikiran Gus Dur tentang pesantren.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur dimulai sejak tahun 1970-an hingga setidaknya akhir tahun 1980-an, tahun-tahun dimana dilancarkannya program pembangunan (modernisasi) oleh rezim orde baru. Pemikiran Gus Dur pada saat itu berseberangan dengan para pengamat dan pemegang kebijakan. Pesantren, sebagai pranata tradisional, pada saat itu dicurigai sebagai sarang kejumudan, stagnansi dan konservatisme.  Pesantren sering dianggap sebagai lembaga yang menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan. Gus Dur melalui esai-esai dan prasaran-prasarannya, seperti yang termuat dalam buku “Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren”, menolak keras pandangan itu.  Menurut Gus Dur, pesantren sangat dinamis, bisa berubah, dan mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan.
Gus Dur gencar menulis dan memberikan prasaran berbagai masalah yang berkaitan dengan agama, kebudayaan, ideologi, dan modernisasi. Topik yang menarik perhatiannya, di antaranya adalah mengenai peran dan kedudukan institusi pesantren dalam modernisasi. Tulisan pertamanya yang muncul di media umum, yang dikirimkannya dari Jombang adalah mengenai pesantren. Sepanjang dua dekade itu, tulisan dan prasaran Gus Dur tentang pesantren dan berbagai tema yang terkait dengannya tampil gencar di tengah masyarakat, tak salah jika ada yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah “jendela pemikiran kaum santri”.[2]
Lebih dari itu, Gus Dur adalah pemimpin besar yang sangat disegani karena kedalaman pemikiran sosialnya, keluasan wawasan politiknya, keawasan naluri politiknya dan besar pengaruhnya sepanjang sejarah Indonesia sejak lebih dari tiga dawarsa yang lalu. Kemampuan Gus Dur meramu tradisi pesantren dengan pemikiran-pemikiran modern menjadikannya sebagai juru bicara utama para kiai-kiai dan masyarakat NU.[3]
Menurut Gus Dur, pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan : rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda ajengan, dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara, di singkat ra); sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga lebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, pengambilalihan dari bahasa Sanskerta dengan perubahan pengertian).[4]
Gus Dur memberikan gambaran keunikan pesantren sebagai sebuah sub-kultur itu meliputi pertama, pola kepemimpinannya yang berdiri sendiri dan berada di luar kepemimpinan pemerintah desa. Padahal keberadaan pesantren itu sendiri tersebar di 5000 lebih desa dari 68.000 desa-desa di Indonesia. Apa yang dikemukakan Gus Dur ini dapat kita lihat, misalnya, dari keberadaan Pesantren Mlangi, Krapyak, Sunan Pandanaran, Nurul Ummah, di daerah Istimewa Yogyakarta, maupun pesantren-pesantren lain yang berada di desa-desa daerah lain, yang umumnya berdiri sendiri terlepas dari pemerintah desa tempat keberadaannya. Peneliti Amerika Sidney Jones, yang pernah melakukan riset di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menunjukkan bahwa di luar pesantren, kepemimpinan kiai berkembang menjadi sebuah hubungan patron client yang sangat erat, di mana otoritas seorang kiai besar dari pesantren induk diterima di kawasan seluas Propinsi, baik oleh pejabat pemerintah, pemimpin politik, maupun kaum hartawan. Bahkan K.H. Makhrus Ali, dari pesantren Lirboyo, Kediri, diterima otoritasnya dalam sekup nasional.
Kedua, dalam pesantren dipelihara literatur universal selama berabad-abad. Literatur ini dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan (pengajaran) kitab kuning misalnya, telah menciptakan kesinambungan tradisi yang benar dalam memelihara ilmu-ilmu agama sebagaimana yang diwariskan kepada masyarakat Islam oleh imam-imam besar di masa lalu. Dengan demikian, pesantren merupakan kiblat masyarakat Islam dalam mencari ilmu, hingga pada gilirannya, komunitas Islam adalah kiblat bagi masyarakat luas. Dan ketiga, adalah sistem nilai kepesantrenan yang unik dan terpisah dari sistem nilai masyarakat di luarnya. Berdasarkan kepatuhan harfiah terhadap ajaran agama dalam menjalani kehidupan nyata, sistem nilai itu tak bisa dilepaskan dari unsur-unsur utama, yakni kepemimpinan kiai dan literatur universal yang intens dipelajari. Pembakuan ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari, telah melegitimasikan dua hal, yakni kitab kuning sebagai sumber tata nilai, dan kepemimpinan kiai sebagai model dari implementasinya dalam kehidupan nyata. Dari kepemimpinan kiai yang mampu membangun solidaritas antar kelas di masyarakat, telah menanamkan secara tidak langsung kepada santri suatu etos holistic-integratif antara kesalehan individual dan sosial, juga antara ilmu dan amal.[5]
Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kultural yang relatif lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya.[6]
Menurut Gus Dur, pesantren juga disebut sebagai sub-sistem dari sistem kemasyarakatan dan kebangsaan. Pesantren memiliki peranan yang cukup besar dalam mensosialisasikan dan merealisasikan program-program yang menjadi kebijakan pemerintah. Ambil contoh, misalnya, pesantren berperan besar dalam mengupayakan pembudayaan nilai-nilai agama dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama di lingkungan pedesaan.
Pembudayaan nilai-nilai agama itu, merupakan sebuah proses penciptaan etik sosial dan etos kerja yang bersifat membangun. Penjabaran dan penyerapan ajaran-ajaran agama ke dalam etik sosial dan etos kerja semacam itu, akan menyediakan sarana hidup, juga pondamen yang kokoh bagi berjalannya program pemerintah. Dalam hal ini, Gus Dur mengutip pandangan filososof Indonesia yang dikaguminya, Soedjatmoko, bahwa dalam usaha pembangunan, yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan sosial yang ada, tetapi juga kemampuan untuk menilai kenyataan-kenyataan sosial itu berdasarkan kriteria yang ditarik dari suatu sistem nilai. Dalam hal ini, masih menurut Soedjatmoko, agama dapat memberikan sumbangannya serta berperan dalam menciptakan sistem nilai tersebut, sehingga dapat menghasilkan manusia pembangunan yang berani mengambil prakarsa dengan segala resikonya, yang merupakan ikhtiar manusia yang diamanatkan dan difirmankan oleh Tuhan.
Selain itu lembaga pesantren adalah satu alat yang digunakan oleh agama Islam untuk memainkan peranan yang mulia itu. Pesantrenlah yang menjadi tempat bertanya bagi masyarakat pedesaan. Jika mereka tidak mengerti mengenai program atau kegiatan yang tengah dirintis atau dilaksanakan pemerintah, maka pesantrenlah yang menjadi papan pantulan bagi masyarakat untuk mencernakan keseluruhan wajah program tersebut yang memang menyentuh secara langsung sendi-sendi kehidupan masysarakat. Dalam hal ini, peran pesantren lah yang menjadi panutan, diterima tidaknya, ataupun dilaksankan tidaknya suatu program pemerintah, dapat dikatakan bergantung kepada respon dan jawaban pesantren kepada masyarakat pedesaan atau umat pendukungnya.
Mengapa peranan pesantren demikian menentukan? Sekali lagi, sejarah pula yang dijadikan tau membuatnya demikian. Kita tahu, sejak zaman kerajaan dan zaman penjajahan, pesantren lah satu-satunya pranata dalam masyarakat dan memang sudah demikian watak aslinya yang menjadi penghubung antara masyarakat dengan pihak penguasa, di mana pesantren menjadi pembela kepentingan masyarakat dengan berdasarkan nilai-nilai agama. Karena itu, pesantren kerap dijuluki sebagai lembaga yang “anti-struktur” tapi populistis. Dan watak itu pula yang secara kental tercermin dalam gerak langkah Gus Dur, sehingga beliau bagaikan “kiai kelana”, penerus tradisi para wali atau para mubaligh penyebar Islam di Jawa yang senantiasa membumikan nilai-nilai agama (ajaran pesantren) dalam masyarakat, sekaligus membela kepentingan-kepentingan mereka di hadapan pihak penguasa.[7]
Di masa-masa yang lalu pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan kraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren  menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan kraton. Karena itu, dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama.
Dalam perkembangannya, pada tahun menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuh puluhan, menurut Gus Dur, pesantren tampak kecenderungannya sebagai lembaga pencetak para ulama. Penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat drop-out cukup besar.
Pada tahun-tahun berikutnya, timbul elemen baru di mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat ditampung di sekolah-sekolah luar baik karena fasilitas, biaya, dan lain sebagainya, maupun karena tak dapat memenuhi standarisasi, entah itu akhlak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir, pesantren mendapat tambahan fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-sekolah lain atau oleh orang tuanya.[8]
Sebagaimana yang telah diungkapkan diberbagai forum seminar. Gus Dur mengungkapkan tentang watak kemandirian dalam kehidupan pesantren. Diantaranya, pesantren menurut Gus Dur memiliki watak populis, terutama dari struktur pendidikannya. Sehingga memungkinkan siapa saja untuk menjadi santri, bahkan mereka yang tidak memiliki kemampuan financial sekalipun. Kemudian fungsi pesantren sebagai alat transformasi kultural secara total, telah membuatnya mampu mandiri dengan cara mengembangkan pola hidup dan institusi-institusinya sendiri. Dan yang tidak kalah uniknya, dari watak kemandirian itu adalah kegigihan pesantren untuk mempertahankan etika sosialnya sendiri, misalnya, adalah rasa kecukupan dengan apa yang ada pada diri sendiri.[9]
Gus Dur juga mengungkapkan, bahwasannya pondok pesantren adalah suatu lembaga yang bersifat komplementer. Kalau dilihat lembaga-lembaga pendidikan yang ada di dalamnya, ada pengajian klasik, yang dalam bahasa pesantren disebut manhajáam (sistem umum), di mana ada tambahan sekolah-sekolah agama, seperti madrasah Aliyah. Ada yang bersifat klasik tanpa menyediakan  sekolah sama sekali, seperti pada pendidikan di podok pesantren kuno seperti API Tegalrejo Magelang. Yang demikian itu dinamai dalam bahasa Arab manhaj salafi. Keduanya dapat berjalan seiring, yang satu menjadi komplemen bagi yang lain karena prinsip-prinsip yang diajarkan itu sama.[10]
Jika menilik sejarah berdirinya, pesantren didirikan lantaran tuntutan kebutuhan zaman. Oleh karenanya, menurut Gus Dur, pesantren sebagai lembaga yang bersifat kompelementer senantiasa dituntut mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, tanpa tercabut dari akar tradisi serta khasanah keagamaannya. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan, Pesantren diharapkan mampu berfungsi sebagai pelopor pembaharuan (agent of change).
Barangkali yang dikemukakan diatas terlampau ideal bagi pesantren, yang menurut Gus Dur hal itu dikarenakan ketidakrapian, ketidak menentuan dan adanya kekisruhan di dalam sistem pendidikan pesantren. Apa yang dibutuhkan, menurut Gus Dur, adalah suatu komitmen pencarian jalan tengah, tradisi keagamaan yang seimbang dengan tuntutan-tuntutan praktis yang dalam merespon modernitas dan kebutuhan akan  kemajuan salah satu kunci untuk berhasil dalam hal ini adalah menempatkan kalangan muda dalam kepemimpinan pesantren. Selanjutnya, mengenai hal ini Gus Dur menambah prasyarat yang kedua, yaitu rekonstruksi total terhadap kurikulum dan materi-materi pengajaran. Prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas-lingkup penuh dan dalam, adalah rekonstruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam sekala besar-besaran.[11]
Hanya dengan cara ini kepemimpinan dinamis  di pesantren dapat mencegah semakin berlarut-larutnya kemelut di pesantren, dan mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman.
Demikian pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang pendidikan pesantren. Ia meramu tradisi pesantren dengan pemikiran-pemikiran modern, dan itu yang menjadikannya sebagai jendela pemikiran kaum santri.


                [1] Greg Barton, Biografi singkat, Op. Cit., hal. 118-119.
[2] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal.ix-x.
[3] A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia, Klik.R, Yogyakarta, Cet. I, 2007, hal.7.
[4] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal. 3-4.
[5] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, Op. Cit., hal.23-24.
[6] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal. 10.
[7] Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, Op. Cit., hal.278-279.
[8] Abdurrahman Wahid, Prisma pemikiran Gus Dur, Op. Cit., hal.113-114.
[9] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, Op. Cit., hal.68.
[10] A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan kebangkitan Indonesia, Op. Cit., hal.ix.
[11] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Op. Cit., hal. 63-64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar