Sabtu, 10 Desember 2011

Pendidikan Pondok Pesantren


A.      Deskripsi Pondok Pesantren
1.    Pondok Pesantren Dalam Lintas Sejarah
Pesantren secara historis-kultural dapat disebut sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren muncul bersamaan dengan proses Islamisasi yang terjadi di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, dan terus berkembang sampai saat ini. Ketahanan yang ditampakkan pesantren sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan sebagai suatu sistem pendidikan. Pesantren mampu berdialog dengan zamannya. Pada gilirannya, hal itu telah menumbuhkan kepercayaan sekaligus harapan bagi sementara kalangan. Pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan, sekaligus sebagai motor  penggerak dan pengawal arus perubahan sosial.[1]
Embrio lahirnya lembaga pendidikan pesantren sesugguhnya bisa dilacak sejak periode Walisongo. Namun keberadaan lembaga ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada abad XVIII dan XIX. Dalam pandangan Abdurrahman  Mas’ud, lembaga pendidikan pesantren pada era kolonial cenderung diposisikan sebagai lembaga yang patut dicurigai karena menjadi basis “latihan para pejuang militan” guna melawan mereka. Sejalan dengan hal ini, watak pesantren itu sendiri memberikan konstribusi terhadap kemandirian dan ketahanan akan dominasinya melawan serangan dari luar. Pesantren pada posisi demikian ini dapat dipandang sebagai sebuah sistem pendidikan yang unik, dan bisa dilihat juga sebagai komunitas otonom dibawah para kyai yang kharismatik, yaitu suatu bagian dari populasi Jawa yang mempertahankan identitas ke-Islamannya.[2]
Dipulau Jawa pondok pesantren berdiri sejak abad XV Masehi dan Syeh Maulana Malik Ibrahim (salah satu dari Walisongo) dianggap sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama (Saridjo, 1985; Syarif, 1986; Arifin, 1993). Pada saat itu pondok pesantren memiliki fungsi penting sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam (tafaqquh fiddin). Maulana Malik Ibrahim mendidik sejumlah santri yang ditampung dan tinggal bersama dalam rumahnya di Gresik Jawa Timur. Para santri yang sudah selesai pendidikannya kemudian pulang ketempat asal masing-masing dan mulai menyebarkan agama Islam dan mendirikan pondok pesantren yang baru (Syarif, 1985).
Pada mulanya, proses terjadinya pondok pesantren sangat sederhana. Orang yang menguasai beberapa bidang ilmu agama Islam, misalnya : ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tauhid, ilmu akhlak, dan ilmu tasawuf yang biasanya dalam bentuk penguasaaan beberapa kitab klasik (kitab kuning) mulai mengajarkan ilmunya di surau-surau, majlis-majlis ta’lim, rumah guru atau masjid kepada masyarakat sekitarnya. Lama-kelamaan sang kiai mulai terkenal dan pengaruhnya makin luas (Syarif, 1985), kemudian para santri dari berbagai daerah datang untuk berguru kepada kiai tersebut.
Pondok pesantren yang merupakan salah satu bentuk sistem pendidikan Nasioanal telah lama hidup dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat Indonesia, tersebar luas diseluruh tanah air. Pertumbuhan dan penyebaran ini tidak terlepas dari upaya penyebaran agama Islam
Berdirinya pondok pesantren pada saat ini berbeda dengan masa lalu. Jika pada masa lalu pondok pesantren berdiri sekaligus sebagai cikal bakal desa setempat, maka sekarang banyak pondok pesantren yang berdiri di lingkungan yang sudah padat penduduknya, di kota atau bahkan ditengah tengah kampus. Baik pondok pesantren yang berdiri pada masa lalu atau sekarang, keduanya mempunyai misi yang sama yaitu untuk mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran Islam, sehingga Islam dapat dipahami oleh pemeluknya (Bruinessen, 1992).[3]

2.    Pengertian Pendidikan Pesantren
Pendidikan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam, tumbuh serta diakui oleh masyarakat Indonesia, dengan sistem asrama dimana santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen.[4]
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama.
Sedangkan perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran -an yang berarti tempat tinggal para santri. Asal-usul kata “santri” menurut Profesor Johns berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. [5] Di sisi lain dalam pandangan Nurcholis Madjid, ada pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.
Pengertian terminologi diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna ke-Islaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan meng-Islamkannya.[6]
Pendapat serupa juga dapat terlihat dalam penelitian Karel A. Steenbrink yang secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.[7]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan bentuk khas sebagai tempat dimana proses pengembangan keilmuan, moral, dan keterampilan para santri.[8] Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki lima elemen penting, yaitu; pondok tempat menginap santri, masjid sebagai sentral kegiatan ibadah dan pendidikan, santri sebagai peserta didik, pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai sebagai pengasuh dan pengajar di pesantren.[9]
Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan lain. Sekalipun kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kiai memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren.
Keberadaan seorang kyai dalam lingkungan sebuah pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kiai memperlihatkan peran yang otoriter yang disebabkan karena kiai-lah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren.[10]

3.    Tujuan Pendidikan Pesantren
Suatu proses yang dilakukan dalam pendidikan harus dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan. Tujuan pendidikan secara umum adalah mewujudkan perubahan positif yang diharapkan pada peserta didik setelah menjalani proses pendidikan, baik perubahan pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun pada kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana subjek didik menjalani kehidupan. Tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan dan saripati dari seluruh renungan pedagogik.
Dalam tradisi muslim, “tujuan” menduduki posisi teramat penting dan hal ini sangat mudah dilihat dari pelafalan niat seorang muslim setiap hendak menjalankan ibadah. Niat, berarti merencanakan sesuatu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[11]
Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriahnya. Dengan kaata lain, perilaku lahiriah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal yang telah mengacu di dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses kependidikan.
Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan pesantren, berarti berbicara tentang nilai-nilai yang bercorak Islami. Sedangkan idealitas Islami itu sendiri pada hakekatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.
Ketaatan kepada kekuasaan Allah yang mutlak itu mengandung makna penyerahan diri secara total kepada Allah Yang Maha Esa menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepadanya, ini sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Bila manusia telah bersikap menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah (Khaliknya) berarti telah berada didalam dimensi kehidupan yang menyejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat.
Pendidikan pesantren bertujuan untuk melahirkan santri yang memiliki pengetahuan agama yang luas, yang selalu menghambakan diri (beribadah) kepada Allah dan berakhlak mulia (Arifin, 1993). Tujuan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk pendidikan dan pengajaran serta aktifitas pesantren lainnya.[12] Rahardjo (1985) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah untuk membentuk manusia yang utuh (kaffah), yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, berakhlak mulia, mandiri, dan berpengetahuan luas, baik dalam ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Sedangkan Dzofier (1994) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan di pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral serta berhati bersih. Senada dengan dengan pendapat ini, Madjid (1990:15) mengatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam, memiliki kemampuan untuk merespon tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada.[13]
Tujuan pendidikan pesantren adalah menyampaiakan pengetahuan dan nilai-nilai dasar maupun gambaran akhlak dan keistemeeaan kultus, yang dimiliki seorang kiai sebagai pengemban tradisi. Mencetak para kiai muda, ulama, dan ustadz menjadi tujuan formal yang utama dari pendidikan pesantren. Namun keberhasilan kegiatan ini tidak diturunkan dari tujuan ini, sebab kalau tidak, seperti disinggung secara ironis oleh Abdurrahman Wahid, orang harus menyebut pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan droup out rate (angka prosentase putus sekolah) sangat besar, sebab seorang kiai merasa dirinya telah berhasil, bila tercapai olehnya, bahwa setelah puluhan tahun pengabdian, beberapa orang santrinya diakui sebagai kiai.
Kebanyakan siswa-santri yang setelah beberapa tahun tanpa ijazah resmi dan tidak berhasrat menjadi kiai, ulama atau ustadz, mengakhiri masa pesantren mereka, tak dapat disebut putus sekolah. Tujuan pendidikan yang melandasi pendidikan mereka, tidak berkiblat ke sekolah-sekolah lanjutan dengan ujian akhir dan ijazah sebagai tanda bukti kelayakan meneruskan ke tingkat sekolah berikutnya. Sebab berbeda dengan itu, tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan. Mereka diharapkan setelah kembali ke kampung halamannya menempuh hidupnya sebagai muslim teladan, yang memantulkan sosialisasi pesantrennya serta mempromosikan, menyiarkan nilai-nilai dan gambaran kemasyarakatan Islam. Dalam istilah moderennya, dalam pesantren ialah “pendidikan kader” dilaksanakan dalam arti luas. Santri diharapkan menyebarluaskan citra nilai budaya pesantrennya yang khusus melalui cara hidupnya: pengabdian sosial, ketulusan, kesahajaan; pribadi atau sifat-sifat yang dapat dituangkan dalam suatu pengertian uatama dari pendidikan yang ideal, “keikhlasan”.[14]
Dapat disimpulkan, secara umum tujuan utama pendidikan pesantren ini mengikuti dalil:
“Pendidikan dalam sebuah pesantren ditujukan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin akhlak dan keagamaan. Diharapkan bahwa para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri untuk menjadi pemimpin yang tidak resmi atau pemimpin resmi dari masyarakatnya”.[15]

B.       Sistem Dan Kurikulum Pendidikan Pesantren
1.      Sistem Pendidikan Pesantren
Salah satu pra syarat untuk mewujudkan masyarakat madani ditentukan oleh sejauh mana kualitas peradaban masyarakat. Peradaban suatu bangsa akan tumbuh dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Naquib Al-Attas. Menurutnya pendidikan Islam itu lebih tepat di istilahkan dengan ta’dib dibanding istilah tarbiyah, ta’lim dan lainnya, sebab dengan konsep ta’dib, pendidikan akan memberikan adab atau kebudayaan. Dengan istilah ini juga dimaksudkan pendidikan berlangsung dengan terfokus pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan potensi intelektual dan spiritual.[16]
Sistem pendidikan pondok pesantren pada hakekatnya adalah totalitas interaksi seluruh komponen atau elemen pendidikan pondok pesantren yang bekerjasama secara terpadu untuk saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur agama Islam untuk mencapai tujuan pendidikan pondok pesantren yang telah ditetapkan. Zarkasyi (1973) menyatakan bahwa hakekat pendidikan pondok pesantren terletak pada isi (content) dan jiwanya, bukan pada kulit luarnya. Isi pendidikan pesantren adalah pendidikan “ruhaniah” yang pada masa lalu telah berhasil melahirkan kader-kader muballigh dan pemimpin-pemimpin umat di berbagai bidang kehidupan.[17]
Alwi (1999) menyatakan bahwa sistem pondok pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam; (1) sistem ma’hadiyah dengan menggunakan metode sorogan, wetonan, muhawarah, mudzakarah, dan majlis ta’lim. (2) sistem madrasiyah/persekolahan yaitu kegiatan yang dilaksanakan di kelas dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan demonstrasi.[18]
Sistem pendidikan pesantren bila dilihat secara keseluruhan bermula dari pengajaran sorogan, di mana seorang kiai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri per santri, pendidikan di pesantren kemudian berkembang menjadi sistem yang kompleks. Pengajian sorogan diikuti oleh pengajian weton, di mana sang kiai duduk di lantai masjid atau keranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mencatat uraiannya itu. Pengajian sorogan masih di teruskan, dengan cara pemberian wewenang kepada guru-guru untuk melaksanakannya di bilik masing-masing; demikian pula lambat laun pengajian weton pun diwakilkan kepada pengganti-pengganti (badal) sehingga akhirnya kiai hanya memberikan pengajaran weton dalam teks-teks utama belaka.[19]
Sistem pendidikan pesantren yang menggunakan pengajaran muhawarah, yaitu suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Di beberapa pondok pesantren tidak diwajibkan muhawarah setiap hari, tetapi hanya hari-hari tertentu atau pada saat latihan berpidato berbahasa Arab (muhadlarah). Sistem pengajaran yang selanjutnya ialah mudzakarah, merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti aqidah dan ibadah dan masalah-masalah agama pada umumnya. Dalam hal ini ada mudzakarah yang diselenggarakan oleh santri sendiri, dan ada yang dipimpin oleh kiai. Sedangkan sistem pengajaran yang terakhir mengugunakan metode majlis ta’lim yaitu suatu metode penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Jumlahnya bebas, isi atau materi juga bersifat umum berisi nasehat keagamaan dan lain-lain.[20]
Dimulai dari pengajaran sorogan dan weton, kemudian muncul sistem pendidikan yang lengkap, di mana secara kolektif pesantren menawarkan pengajaran dalam unit-unit yang terpisah satu dari yang lain dan berdiri sendiri. Seorang santri dapat memilih unit-unit mana saja yang diikutinya, biasanya setelah konsultasi dengan kiai dan gurunya sehingga tersusunlah kurikulum individual yang sangat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pribadi seorang santri sendiri.[21]

2.      Kurikulum Pendidikan Pesantren
Dalam  merancang kurikulum, minimal ada tiga prinsip yang harus dipegang: pertama, pengembangan pendekatan religius kepada dan melalui semua cabang ilmu pengetahuan; kedua, isi pelajaran yang bersifat religius seharusnya bebas dari ide dan materi yang jumud dan tak bermakna; ketiga, perencanaan dan pembuatan kurikulum harus memperhitungkan setiap komponen yang oleh Tylor disebut sebagai tiga prinsip: kontiunitas/kesinambungan, sekuensi, dan integrasi.[22]
Kurikulum yang berkembang di pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat di ringkas ke dalam pokok-pokok berikut ; (a) Kurikulum di tujukan untuk  “mencetak” ulama dikemudian hari. (b) Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kiai/guru dan (c) Secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.[23]
Dalam penyusunan model-model kurikulum ada beberapa ketentuan yang harus dijadikan batasan. Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan, sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman dan penjenjangan. Dengan demikian, dapat dihindarkan pemborosan waktu karena bagaimanapun tingkatan yang ingin dicapai oleh model-model kurikulum itu adalah tingkatan minimal dalam pengetahuan agama. Ketentuan kedua adalah pemberian tekanan pada latihan-latihan, karenanya buku yang dipakai diusahakan yang seringkas mungkin dalam ilmu-ilmu alat. Ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompatan-lompaan yang tidak berurutan dalam penetapan buku-buku wajib selama masa pendidikan dari tahun ketahun. Keempat, kurikulum tidak terlalu ditekankan pada buku-buku wajib tentang keutamaan akhlak. Karena tujuan mencapai standar minimal adalah pengetahuan dasar yang cukup tentang hukum-hukum syara’ dan pengetahuan ilmu alat.[24]
Beberapa jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas lintas dalam hubungan ini :
a.         Kurikulum pengajian nonsekolah, di mana santri belajar pada beberapa orang kiai/guru dalam sehari semalamnya. Kurikulum ini, walaupun memiliki jenjangnya sendiri, bersifat sangat fleksibel, dalam arti pembuatan kurikulum itu sendiri bersifat individual oleh masing-masing santri. Sistem pendidikan seperti ini, yang dinamai sistem lingkaran (pengajian halaqah) memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri pengajian mana yang akan diikutinya.
b.         Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiah), di mana pelajaran telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak berarti pendidikannya sendiri telah menjadi klasikal kerena kurikulumnya masih didasarkan pada panahapan dan penjenjangan berdasarkan urut-urutan teks kuno secara berantai. Walaupun sebagian besar sekolah agama tradisional ini telah memasukkan mata pelajaran nonagama dalam kurikulumnya, belum ada integrasi kohesif antara komponen mata pelajaran agama dan nonagama. Akibatnya, komponen nonagama lalu kehilangan relevansinya di mata guru dan santrinya, dipelajari tanpa diyakini kebenarannya. Paling jauh, mata pelajaran nonagama hanya dipakai untuk menunjang penggunaan mata pelajaran agama bagi tugas penyebaran agama nantinya.
c.         Pondok modern, dimana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-masing kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi bagian integral dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang. Akan tetapi, disinipun mata pelajaran nonagama, walaupun telah diakui pentingnya, masih ditundukkan pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama sehingga kelompok mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualistis dengan tekanan pada pertumbuhan ketrampilan skolastis.[25]
Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam variasi bermacam-macam, namun kesemua perkembangan itu tetap mengambil bentuk pelestarian watak utama pendidikannya sebagai tempat menggembleng ahli-ahli agama yang dikemudian hari akan menunaikan tugas untuk melakukan transformasi total atas kehidupan masyarakat di tempat masing-masing.[26]


[1] Choirul Fuad & Suwito, NS, et al, Model Pengembangan Ekonomi Pesantren, STAIN Purwokerto Press & Unggun Religi, Yogyakarta, Cet. I, 2010, hal. 26.
[2] Ibid, hal. 27-28
[3] Dra. Mu’awanah, M.Pd., Manajemen Pesantren Mahasiswa, Sukses Offset, Yogyakarta, Cet. I, 2009, hal. 15-16.
[4] Definisi ini dikemukakan oleh Arifin (1999), sebagaimana dikutip oleh Mujamil Qomar. lihat Dra. Muawanah, Ibid,  hal. 1.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, Cet. VI, 1994, hal. 18.
[6] Drs. Yasmadi, Op. Cit., hal. 61-62.
[7] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, terj. Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, LP3ES, Jakarta, Cet. II, 1994, hal. 20-21.
[8] Choirul Fuad & Suwito, NS, et al, Op. Cit., hal. 28.
[9] Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., hal. 44.
[10] Drs. Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Op. Cit., hal. 63.
[11] Dr. Moh. Roqib, M.Ag., Ilmu Pendidikan Islam, LKiS, Yogyakarta, Cet. I, 2009, hal. 25.
[12] Dra. Mu’awanah, Manajemen Pesantren Mahasiswa, Op. Cit., hal. 16.
[13] Ibid, hal. 1 dan 2.
[14] Dr. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, Cet. I, 1986, hal. 157.
[15] Ibid, hal. 158.
[16] Drs. Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Op. Cit., hal. 58.
[17] Dra. Mu’awanah, Manajemen Pesantren Mahasiswa, Op. Cit., hal. 27.
[18] Ibid, hal. 29.
[19] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta, Cet. III, 2010,  hal. 139-140.
[20] Drs. Muáwanah, M.Pd., Op. Cit., hal. 28.
[21] Abdurrahman Wahid, Op. Cit., hal. 140.
[22] Dr. Moh. Roqib, M.Ag., Ilmu Pendidikan Islam, Op. Cit., hal. 77.
[23] Abdurrahman Wahid, Op. Cit., hal. 145.
[24] Ibid, hal. 162.
[25] Ibid, hal. 151-152.
[26] Ibid,  hal. 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar