Sabtu, 14 Januari 2012

Dinasti Safawi di Persia


PERADABAN ISLAM MASA DINASTI SAFAWI
DI PERSIA






Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Peradaban Islam
yang di ampu oleh Bp. Samsul Munir, MA.


Disusun Oleh:
Ahmad Robihan, S. Pd. I.
NIM : 3148111


pasca sarjana
Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ)
Jawa Tengah di Wonosobo
2012
A.      PENDAHULUAN
Islam mulai dikenal oleh masyarakat Persia semenjak Rasulullah Saw mengirim surat kepada Raja Kisra dari Dinasti Sasan pada tahun 8 H/630 M. Akantetapi secara resmi Islam masuk ke Persia pada zaman Khalifah Abu Bakar, dengan keberhasilan menaklukkan Qadisiah sekaligus sebagai ibu kota Dinasti Sasan pada tahun 637 M. Progress ekspansi wilayah ke Persia dilanjutkan pada masa Dinasti Umayah dengan menaklukkan wilayah-wilayah di Persia sehingga luas wilayahnya hampir menyamai luas kekuasaan kemaharajaan Persia yang sebelumnya ditaklukkan Iskandar Agung.[1]
Pasca serangan tentara Mongol terhadap kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran. Wilayah kekuasaannya terpecah dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Kondisi politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar (1500-1800 M) : Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India. [2]
Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya. Di saat kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan Daulah Usmani dan sedang mengalami puncak kejayaannya, di tempat lain muncul benih-benih kekuatan baru, Dinasti Safawi di Persia baru berdiri. Melalui makalah ini penulis akan memaparkan mengenai eksistensi dinasti Safawi, yang melingkupi beberapa pembahasan yaitu; Pertama, Sejarah Berdirinya Dinasti Safawi. Kedua, Perkembangan Dinasti Safawi. Ketiga, Kemajuan Dinasti Safawi. Dan Keempat , Kemunduran Dan Akhir Dinasti Safawi.



B.               PEMBAHASAN
1.  Sejarah Berdirinya Dinasti Safawi
Di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan, terdapat sebuah gerakan tarekat yaitu orang-orang yang mengkhususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual keagamaan. Tarekat ini didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya Dinasti Usmani.
Kerajaan Shafawi menurut C.E Bosworth berdiri secara resmi diPersia (1501 M/ 907 H).[3] Ismail Ibn Haidar (Ismail I ) dinobatkan menjadi khalifah pertama dinasti Shafawi. Ismail Ibn Haidar mengklaim dirinya sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmahan Tuhan, sinar ke-Tuhanan dari imam tersembunyi, dan Imam Mahdi.
Mengenai asal kata Shafawi terjadi perbedaan pendapat. Menurut Sayid Amir Ali yang dikutip Ajid Thohir (2004:167), kata Shafawi berasal dari kata shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Shafawi’ Shafi Al-Din Ishak Al-Ardabily, pendiri dan pemimpin tarekat Shafawi. Amir Ali beralasan, bahwa para mufasir, pedagang dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Shafawi dengan gelar Shafi Agung. Sedang menurut pendapat lainnya Shafawi berasal dari kata Shafi, yaitu bagian Dari dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabily sendiri.[4] Senada dengan ini, Taufik Abdullah di dalam Ensiklopedi Tematis, menjelaskan, bahwasannya kerajaan Shafawi didirikan oleh Syekh Ismail (950 H/1501M),[5] dinisbahkan kepada tarekat Shafawiyah yang didirikan oleh Shafi al-Din Ishak (650 H/1252 M) Di Ardabil pada 1300-an.[6]
Para sejarawan yang mendukung terhadap gerakan tarekat ini memegang penisbatan tersebut kepada kitab Shafwat al-Shafa yang ditulis oleh Ibnu Bazzaz, salah seorang penduduk Ardabil. Dia menulis kitab tersebut pada masa Syeikh Shafi al-Din Ishaq. Syeikh kemudian memerintahkan Ibnu Bazzaz untuk menyambungkan nasabnya ke ahlul Bait, mencontoh gurunya Taaj al-Din Ibrahimal-Jailani. Hal ini dilakukakannya karena masa itu alawiyyin (Syi’ah) sedang berpengaruh dan mendominasi pemikiran dan mazhab di Persia kala itu.
Namun demikian, keturunannya tetap meyakini kebenaran sislilah tersebut sehingga hal ini menjadi dasar penetapan tarekat dan Dinasti Safawi bermazhab Syi’ah. Berbeda dengan dua kerajaan besar Islam lainnya, Usmani dan Mughal, dinasti Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. Sebab itu, tidak keliru bila dinasti ini dinilai sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.Safi al-Din sebenarnya keturunan orang kaya, tapi dia memilih suf sebagai jalan hidupnya. Gurunya bernama Taj al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301M) yang dikenal dengan julukan Zahid. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, lalu Safi al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.
Menurut Hamka, Safi al-Din mendirikan tarekat Safawi setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 H. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawi bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.[7]
Setelah tarekat ini melebarkan sayapnya hingga diterima oleh sebagian besar kota-kota di Persia, selanjutnya tarekat ini mengubah model gerakan, dari gerakan spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini cukup beralasan,karena suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawi berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. Perubahan arah gerakan tarekat ini bukan sekedar isapan jempol. Terbukti kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkritnya pada masa tarekat di bawah kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Tarekat Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini tidak berjalan mulus tapi dapat penentangan dari penguasa politik saat itu bahkan hingga menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu.[8]
2.    Perkembangan Dinasti Safawi
Sejak Shafi al-Din memulai memimpin Ribath dan mendirikan tarekat Shafawiyah pada tahun 1303 M sampai kepada Syah Ismail I memproklamirkan berdirinya kerajaan Shafawi pada 1501 M, telah banyak pengalaman keluarga Shafawi dalam perjuangan menegakkan cita-cita selama dua abad itu. Palingtidak, ada dua tahap perjuangan yang dilalui mereka. Pertama, sebagai gerakan keagamaan (kultural) dan kedua, sebagai gerakan politik (struktural).
Pada masa 1301-1447 M (700-850 H) gerakan Shafawi masih murnigerakan keagamaan (kultural) dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Selama masa ini Shafawi memiliki pengikut yang besar, tidak hanya di Persia tetapi juga sampai ke Syiria dan Anatolia. Mayoritas pengikutnya adalah suku-suku Turki yang masih semi nomad yang dikenal dengan sebutan Turkman yaitu diantaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takkalu, Ashfar, dan Qojar.[9]
Gerakan Shafawiyah pada fase peretama ini tidak mencampurkan masalah politik sehingga ia berjalan dengan aman dan lancar, baik pada masa Ikhwan maupaun pada masa penjarahan Timur Lenk. Pada masa itu kehidupan tarekat sufi dapat tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat, karena masyarakat sudah banyak yang bersikap apatis menyikapi konstelasi politik yang suram itu. Masyarakat berharap hanya dengan kehidupan sufisme mereka mendapat kekuatan mental dan menjalin persaudaraan antar muslim.
P.M. Holt, yang dikutip Ajid Thohir (2004:170) ia berpendapat selama fase pertama gerakan Shafawi memilki dua warna. Pertama, bernuansa Sunni. Yaitu pada masa pimpinan Shafiudin Ishak (1303-1344) dan anaknya Shadrudin Musa (1344-1399). Kedua, berubah menjadi Syi’ah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427). Perubahan tersebut tampaknya wajar karena disamping alasan yang sudah disebutkan, juga kemungkinan karena bertambahnya pengikut Shafawiyah di kalangan Syi’ah sehingga kepemimpinan menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas.[10] Pada masa (1447-1501), gerakan Shafawi memasuki tahap atau fase kedua, yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpin Shafawi waktu itu adalah Junaid bin Ali mengubah gerakan politik revolusioner dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Konsekuensinya Shafawi mulai terlibat dalam konflik  politik dengan kekuatan politik lain yang ada di Persia saat itu. Pada saat itu ada dua kerajaan Turki yang saat itu berkuasa yaitu Kara Koyunlu atau Black Sheep yang berkuasa di bagian timur dan Ak Koyunlu atau White Sheep yang berkuasa di bagian barat. Yang pertama beraliran Sunni sementara yang kedua beraliran Syi’ah. Disebabkan kegiatan politiknya, Junaid, pemimpin Shafawi meninggalkan Ardabil karena mendapat tekanan dari kerajaan Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu. Ia juga meminta suaka politik kepada raja Ak Koyunlu yang sekaligus meminta bantuan untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyunlu. Perubahan Shafawi dari gerakan keagamaan berubah menjadi gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi gerakan duniawi. Faktor utama penyebab adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan para pemimpin tarekat dengan para pengikutnya. Anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada pemimpin mursyid dan khalifah itu. Hal ini bisa dijadikan modal awal untuk membangun suatu pemerintahan yang dibangun dengan sikap fanatik dan fanatis untuk mendukung memuluskan tegaknya pemerintahan.
3.    Kemajuan Dinasti Safawi

Masa kemajuan dan kejayaan dinasti Shafawi tidak langsung terwujud pada saat dinasti berdiri di bawah kepemimpinan Syakh Ismail, dinasti pertama(1501-1524 M). Dinasti Shafawi baru mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut didalam negeri yang mengganggu stabilitas. Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.[11]
Kemajuan yang dicapai kerajaan safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Menurut Badri Yatim, di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami berbagai kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu adalah antara lain sebagai berikut:
1)   Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan. Di samping sektor perdagangan kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah bulan sabit subur (Fortile Crescent ).
2)   Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Ada bebrapa ilmuan yang selalu hadir di mejelis istana yaitu Baha al-dinal-syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-din al-zaerazi, filosof, dan Muhammad Bakir ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.
3)   Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa, di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 16 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum. Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur  bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan masjid Syeikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmaps I. Raja Ismail I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhad. Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Setelah itu, kerajaan ini mulai mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan,  peninggalan seni, dan gedung-gedung bersejarah.[12]
4.    Kemunduran Dan Akhir Dinasti Safawi
Menurut Jaih Mubarok, setelah Abbas I, dinasti Safawi mengalami kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas I, melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein, pengganti Sulaiman. Penduduk Afgan (saat itu bagian dari Iran) dipaksa untuk memeluk Syi’ah dan ditindas.[13]
Penindasan ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahmud Khan(Amir Kandahar) sehingga berhasil menguasai Herat, Masyhad, dan kemudian merebut Isfahan (1772 M). Setelah itu, Safawi diserang oleh Turki Usmani dan Rusia. Wilayah Armenia dan beberapa wilayah Azerbaijan direbut oleh Turki Usmani. Sedangkan beberapa wilayah propinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran, dan Asterabad direbut oleh Rusia. Setelah sebagian besar wilayah dikuasai oleh Afgan, Turki Usmani dan Rusia, Nadir Syah (dinasti Ashfariyah) karena mendapat dukungan dari dari suku Zand di Iran Barat – menundukan dinasti Safawi. Nadir Syah (bergelar Syah Iran) memadukan Sunni-Syi’ah untuk mendapat dukungan dari Afgan dan Turki Usmani; dan ia mengusulkan agar madzhab fiqih Ja’fari (Syi’ah) dijadikan madzhab hukum yang kelima oleh ulama Sunni. Dinasti Safawi pimpinan Nadir Syah kemudian ditaklukan oleh dinasti Qajar.[14]

C.      KESIMPULAN
Satu hal yang menarik dari sejarah Dinasti Safawi bahwa dinasti ini bermula dari gerakan keagamaan berupa tarekat. Setelah mengalami penerimaan yang massif di tengah-tengah masyarakat dan kota-kota di Persia, gerakan keagamaan tersebut mengubah model gerakannya menuju gerakan politik. Seolah menjadi hukum alam dan sosial, suatu kelompok bila sudah banyak pengikut dan pendukungnya, mereka ingin untuk memperluas gerakannya ke arah yang lebih berkuasa dan berpengaruh yaitu kekuasaan politik.
Tradisi dan ambisi model ini bisa menimpa kelompok dan gerakan apa saja, baik pada masa dulu maupun masa kini. Semua mempunyai potensi ke arah tersebut. Ini pula yang dialami Dinasti Safawi, sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan besar penguasamasa itu, Dinasti Usmani.
Kemajuan yang dicapai dinasti Shafawi ada beberapa bidang yaitu : bidang ekonomi, bidang ilmu pengetahuan, dan bidang pembangunan fisik dan seni. Kemunduran dinasti Shafawi, dimulai ketika dipimpin oleh raja Sulaiman dan Husain. Raja Sulaiman melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein. Penindasan ini melahirkan pemberontakan dan inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya dinasti Safawi.










DAFTAR PUSTAKA

Ajid Thohir                                        Perkembangan Peradaban di kawasan Dunia Islam, Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Badri Yatim                                                    Sejarah Peradaban Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000.
___________                                                  Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islaiyah II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Hamka                                                             Sejarah Umat Islam, Jilid III, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
Harun Nasuton                                               Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah, Pemikiran Dan Gerakan, cet ke-12, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Hassan Ibrahim                                               Sejarah Kebudayaan Islam, Kota Kembang, Yogyakarta, 1989.
J aih Mubarok                                                 Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraisy, Bandung,  2004.
____________                                                Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Islamika, Bandung, 2008.
Karen Amstrong                                            Islam Shor History,Terj Sepintas Sejarah Islam, Ikon teralitera, Yogyakarta, 2003.
Taufik Abdullah dkk,                                     Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Khilafah, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid ke-2, Jakarta.


[1] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung ; Pustaka Islamika, 2008), hlm. 233.
[2] Harun Nasuton, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, Cet. ke-12 (Jakarta; BulanBintang, 1975) hlm 14.

[3] Karen Amstrong, Islam Shor History, Terjemahan Sepintas Sejarah Islam, (Yogyakarta; Ikon Teralitera, 2003) hlm 137.
[4] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), hlm 167.
[5] Menurut Karen Amstrong,  Ismail pada saat menjadi raja waktu itu baru berusia 16 tahun.lihat Karen Amstrong, Islam Shor History,Terjemahan Sepintas Sejarah Islam, (Yogyakarta; Ikon Teralitera, 2003) hlm 137.
[6] Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam’ Khalifah, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid ke-2 hal
[7] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Bulan Bintang; Jakarta, 1981) hlm. 602.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000). hlm. 139.
[9] Ajid Thohit, Op. Cit., hlm 171.
[10] Ibid., Hal 171.

[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2006). hlm 143.


[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam , Op.Cit., hlm. 144-145.
[13] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2004) hlm. 205
[14] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Op.Cit., hlm. 236-237.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar