Sabtu, 28 Januari 2012

PERSATUAN TARBIYAH ISLAMIYAH (PERTI)


Disusun Oleh:
AHMAD ROBIHAN, S.Pd.I

mahasiswa pasca sarjana
Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ)
Jawa Tengah di Wonosobo
2012


BAB I: PENDAHULUAN
Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Dari aspek kesejarahan, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi Islam baik itu yang bergerak dalam bidang politik maupun organisasi sosial membawa sebuah pembaruan bagi bangsa, seperti kelahiran Serikat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi politik, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Serikat Dagang, dan lain-lainnya pada masa prakemerdekaan membangkitkan sebuah semangat pembaruan yang begitu mendasar di tengah masyarakat.
Organisasi keagamaan Islam merupakan kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional maupun yang bersifat lokal saja. Tidak kurang dari 40 buah organisasi keagamaan Islam yang berskala nasional memiliki cabang-cabang organisasinya di ibukota propinsi maupun ibukota kabupaten/kotamadya, seperti : Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarikat Islam (SI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Majelis Da’wah Islamiyah (MDI), Dewan Mesjid Indonesia (DMI), Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aisyiah, Muslimat NU, dan sebagainya. Sedangkan organisasi keagamaan Islam yang bersifat lokal pada umumnya bergerak di bidang da’wah dan pendidikan seperti: Majelis Ta’lim, Yayasan Pendidikan Islam, Yayasan Yatim Piatu, Lembaga-Lembaga Da’wah Lokal, dan sebagainya.[1]
Di samping itu, terbentuknya berbagai organisasi ini memberikan akses terhadap kesadaran untuk memperjuangkan nasib sendiri melalui instrumen organisasi yang bersifat nasional. Di Sumatera Barat, terdapat dua organisasi besar yaitu Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kedua organisasi besar ini berasal dari dua kubu yang berbeda: Muhammadiyah mewakili kubu modernis yang berbasis urban/kota, pedagang atau pegawai, sedangkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah mewakili kubu tradisionalis berbasis pedesaan, agraris, dan pesantren.[2]
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji Peresatuan Tarbiyah Islam, dari sejarah berdirinya, peran dan pergerakannya, serta perkembangan pendidikannya.
BAB II: PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya PERTI
Minangkabau merupakan wilayah yang terkenal kuat keterkaitannya pada adat, disamping itu, Minangkabau adalah salah satu daerah yang mengalami proses Islamisasi sangat dalam. Akan tetapi Sulit dipastikan kapan sebenarnya Islam masuk ke daerah ini. Ada yang mengatakan abad ke-8, abad ke-12 dan bahkan ada juga yang memperkirakan abad ke-7 karena menurut almanak tiongkok, sudah didapati suatu kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat pada tahun 674 M.[3] Terlepas dari berbagai versi yang ada, Hamka mengatakan bahwa raja Islam pertama di Minangkabau (pagaruyung) adalah Raja Alam Arif sekitar tahun 1600 M. Oleh karena pusat kerajaan ini jauh dari daratan, diperkirakan bahwa dengan masuknya raja tersebut, berarti Islam telah menyebar di wilayah Minangkabau sekitar tahun 1600 M tersebut.[4]
Sejak Islam masuk ke Minangkabau, telah terjadi beberapa kali pembaharuan. Pada awal abad ke-20 muncul gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum muda. Gerakan itu bertujuan untuk mengubah tradisi, terutama gerakan tarekat. Kaum muda melakukan perubahan melalui pendidikan, dakwah, media cetak dan perdebatan. Mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti Sumatera Thawalib yang lebih mengutamakan ilmu-ilmu untuk menggali dan memahami Islam dari sumbernya.
Menyadari gencarnya kegiatan kaum muda, kaum tua pun mulai bergerak, mereka melakukan reaksi yang sama, yaitu dengan menerbitkan majalah. Diantara majalah yang mereka terbitkan termasuk Suluh Melaju di Padang (1013), al-Mizan di Maninjau (1918) yang diterbitkan oleh organisasi local Sjarikat al-Ihsan, Al-Mizan, (lain pula) 1928 dan Suarti (Suara Perti) dalam tahun 1940 yang berkenaan dengan soal-soal organisasi.[5] Dalam bidang pendidikan, kaum tua mengaktifkan lembaga surau. Kaum tua juga membentuk suatu perkumpulan yang bernama Ittihadul sebagai tandingan kaum muda yang dikenal dengan PGAI.[6]
Diilhami oleh perkembangan tersebut, timbullah niat Syekh Sulaiman Ar-Rasuly untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua dalam sebuah wadah. Untuk itu, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, memprakarsai suatu pertemuan besar di Candung Bukittinggi pada tanggal 5 Mei 1928.[7] Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah kaum tua, diantaranya Syekh Abbas al-Qadhi, Syekh Muhammad Djamil Djaho, Syekh Wahid ash-Shahily dan ulama kaum tua lainnya. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan MTI.
Pada tahun 1930, mengingat pertumbuhan dan perkembangan madrasah-madrasah Tarbiayah Islamiyah, timbullah keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuly untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua, terutama para pengelola madrasah dalam suatu wadah organisasi. Untuk itu, ia mengumpulkan kembali ulama-ulama kaum tua di Candung Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930.[8] Pertemuan ini memutuskan untuk membentuk organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan PTI. Ketika terbentuknya organisasi ini ada 7 Madrasah Tarbiyah Islamiyah kepunyaan kaum Tua yang tergabung di dalamnya. Pada tahun 1930 PTI mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah sebagai badan hukum, yang oleh karena itu tahun 1930 disebut juga sebagai tahun pertama bagi PTI. Jumlah ulama yang menggabungkan diri dengan PTI cukup banyak.[9]
Pada tahun 1935 diadakan rapat lengkap di Candung Bukittinggi yang menunjuk H. Siradjudin Abbas sebagai ketua Pengurus Besar PTI. Pada masa kepengurusan ini, berhasil disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan disahkan oleh konfrensi tanggal 11-16  Februari 1938 di Bukittinggi, dan disepakati juga singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah berubah menjadi PERTI. Ketika itu dirumuskan pula tujuan organisasi ini, yaitu:
1.      Berusaha memajukan pendidikan agama dan yang bersangkutan dengan itu.
2.      Menyiarkan dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan.
3.      Memperhatikan kepentingan ulama-ulama, guru-guru sekolah agama seluruhnya, terutama sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah.
4.      Memperkukuh silaturahmi sesama anggota.
5.      Memperkukuh dan mempekuat ‘adat nan kawi, syara’  nan lazim” dalam setiap negeri.[10]
B.     Peran Dan Pergerakan PERTI
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dalam mengembangkan organisasi yang didirikannya mengalami perkembang pesat. Pada tahun 1937, tercatat sebanyak 137 MTI di Minangkabau, dan di beberapa tempat luar Minangkabau. Pada tahun 1938, didirikan pula sebuah madrasah khusus untuk putri, yaitu MTI putri di Bengkawas, Bukittinggi yang dipimpin Ummi Hj. Syamsiah Abbas dimana pada tahun 1940 tercatat memiliki murid sekitar 250 orang. Bahkan pada tahun 1937, misalnya, jumlah murid di MTI Jaho mencapai sekitar 700 orang, kemudian MTI Candung dengan jumlah murid sebanyak 500 orang, dan pada tahun 1938 mencapai 500 orang murid. Diperkirakan pada tahun 1942 sudah terdapat 300 sekolah PERTI dengan 45.000 murid. Sekolah-sekolah tersebut tidak merupakan persatuan yang ketat, diantaranya terdapat perbedaan sifat dan tingkat. Dalam PERTI, termasuk surau kecil maupun surau besar, dimana diajarkan agama pada tingkat tinggi maupun tingkat rendah, semua disebut Madrasah PERTI.
Madrasah PERTI menerapkan sistem klasikal, akan tetapi belum memasukkan perubahan isi pendidikan. Pada beberapa surau pengajian Alquran atau pengajian kitab kitab yang tradisional hanya diselenggarakan menurut sistem klasikal. Namun pada surau yang lain, dimasukkan juga beberapa mata pelajaran dari sekolah gubernemen. Sampai tahun 1947 sekolah PERTI, yang memasukkan mata pelajaran umum belum begitu banyak.
Isu yang mengatakan PERTI hanyalah organisasi lokal dan partai kecil, kelihatannya membuat para peneliti kurang tertarik menjadikan objek studi. Padahal menurut Deliar Noer,[11] pada tahun 1945 saja organisasi ini sudah mempunyai cabang hampir diseluruh Sumatera dan beberapa daerah lainnya di luar pulau Sumatera, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dengan anggota sekitar 400.000 orang. Perkembangan selanjutnya tercatat 350 buah madrasah milik PERTI dari tingkat kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Oleh karena itu perlu dipertegas lagi, tidak mustahil organisasi “kaum tua” yang mengklaim dirinya sebagai pengikut Ahlussunnah Waljama’ah dan mazhab Syafi’I ini, mempunyai banyak studi yang menarik untuk dikaji.
Selain aktif dibidang pendidikan, organisasi ini juga aktif diluar bidang pendidikan, diantaranya membangun sejumlah masjid dan rumah yatim piatu. Sesudah 1945 PERTI juga membangun klinik dan rumah sakit melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi).[12]
Pada periode-periode berikutnya, terutama pada masa Ekawibawa Bung Karno, dalam mengikuti gagasan NASAKOM telah menimbulkan pro dan kontra dalam tubuh PERTI. Kemelut yang kurang terbenahi ini kenyataannya sangat merugikan bagi tujuan semula dari organisasi ini. Pengelolaan bidang pendidikan, dakwah dan sosial seolah-olah terabaikan kalau tidak dapat dikatakan terlupakan sama sekali. Oleh karena itu, pada tahun 1969 Syekh Sulaiman Ar-Rasuly pendiri organisasi ini satu-satunya yang masih hidup pada waktu itu, mendekritkan agar kembali kepada khittah semula, yaitu status non-politik. Dekrit sesepuhnya itu hanya di diterima oleh sebagian saja, yang dipimpin Baharuddin Ar-Rasuly yang kemudian menyalurkan aspirasi politiknya bergabung dengan GOLKAR. Adapun sebagian lagi yang tidak menerima dekrit tersebut tetap sebagai anggota partai politik dan ikut dalam pemilihan umum 1971.
Pada masa pasca Orde Baru, untuk menjaga independensi organisasi agar tidak berpolitik praktis, maka pada Munas ke IV Tarbiyah tahun 1999 di Hotel Jaya Raya Cisarua Puncak. Organisasi ini mengambil sebuah keputusan yang penting yaitu “untuk tidak berafiliasi lagi dengan partai politik apapun”. Dalam hal ini Tarbiyah di deklarasikan sebagai organisasi masa keagamaan yang independen.[13]
Walaupun Tarbiyah menyatakan independen dan tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tetapi kondisi ini tidak ditunjukan oleh elite-elite Tarbiyah yang masih terlibat dalam partai politik. Elite-elite Tarbiyah pada pasca Orde Baru masih mendapat fasilitas untuk dicalonkan menjadi anggota legislatif di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Mereka yang terlibat dalam partai politik secara tidak langsung telah menarik masa Tarbiyah untuk menyalurkan aspirasi politik mereka ke Partai Golkar. Di sisi lain elite-elite yang berada di luar partai politik (elite non partisan) seperti akademisi dan birokrat juga memiliki kepentingan untuk menjaga eksistensi organisasi ini agar jauh dari kepentingan-kepentingan politik.
Dengan posisi yang semacam ini, orang akan jadi paham akan apa yang terjadi di kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah setelah berkiprah di dunia politik. Garapannya yang bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik kenegaraan, adalah lahan yang jelas menuntut dinamisasi dan penalaran intelektual dengan segala macam sistemnya. Artinya, para tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang memiliki kemampuan intelektual, punya dua wajah fundamental garapan penalarannya. Hanya, karena telah mengambil kata sepakat untuk tidak membicarakan nilai-nilai keagamaan, ibadah dan akidah yang sudah menjadi amalan banyak orang, mereka menjadi segan untuk mengggarap lahan itu. Lalu, sebagai manusia, dan apalagi sebagai tokoh-tokoh yang berpotensi intelektual dan butuh penyalurannya, disengaja atau tidak, potensi nalar itu teralirkan ke potensi kedua, dunia politik dengan segala macam tipu daya.[14]
Namun keterlibatan elite-elite Tarbiyah dalam politik, tidak begitu saja mudah diterima oleh elite-elite Tarbiyah lainnya yang berasal dari akademisi. Mereka memandang beragam persoalan keterlibatan elite-elite Tarbiyah di kancah politik lokal di Kota Padang. Pandangan pertama adalah keterlibatan elite-elite Tarbiyah di kancah politik tidak membawa dampak apa-apa terhadap Tarbiyah secara kelembagaan. Mereka yang masuk partai politik hanya membawa misi pribadi tanpa mencoba memberikan sumbangan fikiran dan materi untuk perkembangan lembaga kedepan. Kondisi tersebut hanya menyeret Tarbiyah dalam pergolakan politik semata, sehingga inti dari misi lembaga yaitu pendidikan, sosial dan dakwah sering terabaikan.
C.    Perkembangan Pendidikan PERTI
Tahun 1928-1957, kurikulumnya 100% agama dengan memakai kitab kuning. Mulai tahun 1957, kurikulum MTI Candung telah mengadopsi kurikulum umum dan berkembang secara bertahap sampai munculnya SKB tiga menteri 1974 dengan rasio: 70% agama dan 30% umum, dan tetap berlaku sampai sekarang.
1.      Fase Perkembangan Pendidikan MTI Candung di Masa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Tahun 1908 merupakan sistem halaqah sebagai awal pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung yang bertempat di Surau Baru, berakhir pada tahun 1928. Di tanggal 5 Mei 1928, maka pendidikan madrasah mulai diberlakukan dengan memakai sistem kalsikal dengan lama pendidikan adalah 9 tahun.
Pada tanggal 20 Mei 1930 organisasi yang dirintis bersama akhirnya tuntas dalam suatu bentuk pembahasan yang intensif yang disebut dengan “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)”,  kondisi ini berjalan sampai tahun 1945 dalam rangka mempertahankan eksistensi dan perkembangan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang telah berkembang di Indonesia Pada tanggal 24 September 1936, diadakan suatu rapat di Candung yang dihadiri oleh ketua dan para guru Madrasah Tarbiyah Islamiyah dengan salah satu keputusannya adalah menyamakan kurikulum bagi seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada di Indonesia.
Kemudian di tahun 1938, Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengadakan Muktamar di Bukittinggi yang intinya memutuskan untuk menyusun rencana kurikulum berupa daftar pelajaran yang diseragamkan untuk seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah Memasuki tahun 1950, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung mulai didaftarkan pada Departemen Agama serta tahun 1970 kembali didaftarkan untuk kedua kalinya, sehingga perencanaan tersebut mendapat kendala dengan sikap masyarakat yang menentang masuknya pelajaran yang ditawarkan Dapertemen Agama karena ada bentuk kekhawatiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat bahwa pendidikan tarbiyah akan “dihapuskan” Tahun 1961 berdirilah sebuah yayasan sebagai tempat bernaungnya sebuah pendidikan swasta yang dinamakan dengan Yayasan Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy. Yayasan ini bertugas untuk memikirkan, merencanakan dalam penyelenggaraan pendidikan, pembangunan, dan perbaikan madrasah ini.
Berakhirnya Fase Kepemimpinan Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy Pada tahun 1965 M, seiring kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, maka jabatan sebagai pimpinan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung diserahkan kepada H. Baharuddin ar-Rasuli Jabatan pimpinan yang ia tekuni tidak ada perubahan dari kepemimpian yang dipegang oleh Ayah beliau.
2.      Fase Kepemimpinan Buya H. Baharuddin ar-Rasuliy (1965-1971)
Seluruh operasional madrasah dikelola oleh H. Baharuddin ar-Rasuliy dengan adanya persetujuan Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy. Kebijakan-kebijakan pimpinan tetap dipegang oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy secara substansif.
3.      Fase Kepemimpinan Buya H. Syahruddin ar-Rasuly (1971-2005)
Pada tahun 1977, PB. Persatuan Tarbiyah Islamiyah terlibat dalam pengaturan pengelolaan madrasah ini dengan melahirkan direktorium madrasah yang terdiri dari lima orang yang akan mengendalikan perkembangan madrasah, diantara mereka adalah H. Baharuddin ar-Rasuli, H. Syahruddin ar-Rasuli, H. Moh. Nur ar-Rasuli, H. Izzuddin Marzuki, dan Abdullah Ali. Mereka yang disebutkan mempunyai tugas sebagai perencana dan pelaksana pendidikan madrasah agar dapat dijalankan dengan baik. Kondisi yang seperti tetap berjalan sampai pada tahun 1994.
Pengelompokkan Kurikulum semenjak 1994-2008:
A.    Pelajaran Agama
1.      Fiqh
2.      Hadits
3.      Tauhid
4.      Tafsir
5.      Tashauf
6.      Ushul Fiqh
7.      Mantiq
8.      Mushthalah
B.     Pelajaran Bahasa
1.      B. Arab
2.      B. Inggris
3.      B. Indonesia
4.      Nahwu
5.      Sharaf
6.      Qawa’id
7.      Balaghah
C.     Pelajaran Umum
1.      KWN
2.      Ilmu Jiwa
3.      Sejarah Umum
4.      Geografi
5.      Antropologi
6.      IPS
7.      IPA
8.      Ilmu Komputer
4.      Fase Kepemimpinan Buya H. Muhammad Noer ar-Rasuliy (2004-2006)
Kepemimpinan yang beliau jalankan sebagai Rais al-’Aam merupakan usaha untuk membantu kepemimpinan yang dipegang oleh Buya H. Syahruddin ar-Rasuliy sebagai Syaikh al-Madrasah.
5.      Fase Kepemimpinan Buya Badra Syahruddin ar-Rasuliy 2005-2007
Kepemimpinannya sebagai Rais al-’Aam, dibimbing oleh Buya H. Muhammad Noer ar-Rasuliy yang menjabat sebagai Syaikh al-Madrasah menggantikan posisi Buya H. Syahruddin ar-Rasuliy yang wafat pada 24 Desember 2005.
6.      Fase Kemimpinan Buya H. Amhar Zen ar-Rasuliy (2007-2008)
Kepemimpinan Buya H. Amhar Zen ar-Rasuliy merupakan usaha untuk melanjutkan kepemimpinan Buya Badra Syahruddin sehubungan dengan kesibukan yang beliau emban sebagai pegawai tata usaha Universitas Andalas.



BAB III: PENUTUP
Lahirnya Organisasi PERTI diprakarsai oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, berawal dari perkumpulan ulama-ulama kaum tua yang bernama Ittihadul. Dari perkumpulan itu lahir Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan MTI.
Untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua, terutama para pengelola madrasah dalam suatu wadah organisasi, maka dibentuklah organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan PTI. Kemudian atas kesepakatan bersama, singkatan PTI berubah menjadi PERTI.
Dalam perkembangannya, PERTI mendirikan madrasah-madrasah / sekolah, membangun sejumlah masjid dan panti asuhan. Selain itu, PERTI juga membangun klinik dan rumah sakit melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi). PERTI juga aktif dalam kancah politik, akan tetapi tidak lama kemudian, PERTI mendeklarasikan sebagai organisasi masa keagamaan yang independen.
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan, semoga dapat menambah khazanah keilmuan bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Alaidin Koto, Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, (Jakarta: Tarbiyah Press, 2006)
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES. 1980)
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1994)
Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama, (Jakarta: Widjaya. 1950)
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madarasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES. 1974)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Mahmudiah. 1960)
Mubarok, Peta Keagamaan di Indonesia; Edisi II di 10 Provinsi, (Jakarta: Departemen Agama RI Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Proyek Penelitian Agama 1994/ 1995)
Nelmawarni, dkk, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)”, dalam Sosiohumanika 16B (1), (Padang: IAIN-IB Press. 2003)
Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Jogjakarta: UII Press, 2001)
Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Lintas Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987)


[1] Mubarok, Peta Keagamaan di Indonesia; Edisi II di 10 Provinsi, (Jakarta: Departemen Agama RI Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Proyek Penelitian Agama 1994/ 1995), h. 19

[2] Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Jogjakarta: UII Press, 2001), hlm. 1.
[3] Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Lintas Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987), h. 111-112, dan lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Mahmudiah. 1960), h. 17-18.
[4] Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama, (Jakarta: Widjaya. 1950), h. 5.

[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES. 1980), h. 241.
[6] Ibid.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1994),  h. 97.
[8] Nelmawarni, dkk, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)”, dalam Sosiohumanika 16B (1), (Padang: IAIN-IB Press. 2003), h. 52.

[9] Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madarasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES. 1974), h. 64.
[10] Nelmawarni, Persatuan Tarbiyah, Op. Cit., h. 53.

[11] Deliar Noer, Gerakan Modern Op. Cit,.
[12] Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madarasah…, Op. Cit.

[13] Alaidin Koto, Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, (Jakarta: Tarbiyah Press, 2006) h. 128- 135.

[14] Ibid., h. 101.

2 komentar: